KEBIJAKAN – Pemerintah Aceh mengucurkan anggaran program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) pada tahun 2021 mencapai Rp 1,047 triliun, membengkak dari tahun 2020 yang sebesar Rp 932,406 miliar. Besarnya anggaran tersebut diharapkan sebanding dengan pelayanan yang diterima masyarakat Aceh.
“Masyarakat Aceh seharusnya mendapatkan pelayanan lebih dari meningkatnya anggaran JKA. Apalagi program JKA Plus yang dijanjikan Pemerintahan Irwandi-Nova belum terasa hingga sekarang,” kata Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, kepada Serambi, Jumat (27/11/2020).
Baca juga: Hasil Pemantauan MaTA tentang Tata Kelola Obat di Banda Aceh
JKA Plus merupakan salah satu program unggulan Pemerintahan Irwandi-Nova, yang meliputi pemenuhan akses layanan kesehatan gratis yang lebih mudah, berkualitas dan terintegrasi bagi seluruh rakyat, pemberian santunan untuk kalangan masyarakat usia lanjut, pembangunan Rumah Sakit Regional tanpa menggunakan utang luar negeri (Loan), serta mengembalikan ruh JKA yang pernah dirasakan oleh rakyat Aceh.
Naiknya anggaran JKA ini sebelumnya disampaikan Kepala Dinas Kesehatan Aceh, dr Hanif, Jumat (27/11/2020). Dia menyebutkan, Pemerintah Aceh harus mengalokasikan anggaran dalam RAPBA 2021 sebesar Rp 1,047 triliun untuk program JKA, meningkat dibandingkan tahun 2020 yang sebesar Rp 932,406 miliar.
Membengkaknya anggaran JKA ini disebabkan bertambahnya peserta JKA yang terdaftar di BPJS Kesehatan. Jika awal tahun 2019 peserta JKA yang tercatat sebanyak 2.090.600 orang, data per Oktober 2020 sudah bertambah menjadi 2.185.243 orang. Data ini lah yang dijadikan acuan Pemerintah Aceh mengalokasikan anggaran untuk JKA.
Selain penambahan jumlah peserta, faktor lainnya adalah kenaikan premi asuransi jaminan kesehatan secara nasional yang ditetapkan pemerintah untuk BPJS Kesehatan. Sebagai contoh untuk peserta golongan kelas III, dimana jika sebelumnya premi yang ditetapkan Rp 23.000/orang/bulan, saat ini naik menjadi Rp 42.000/orang/bulan.
“Akibat kenaikan premi asuransi jaminan kesehatan dan terus bertambahnya jumlah peserta JKA, otomatis anggaran yang harus dialokasikan Pemerintah Aceh untuk pembayaran premi JKA juga meningkat,” jelas Hanif.
Anggaran untuk program jaminan kesehatan Aceh (JKA) ini, disebutkannya, bersumber dari penerimaan dana otonomi khusus (Otsus) yang ditransfer Pusat ke Aceh. Karena itu, apabila tahun 2027 nanti transfer dana otsus itu dihentikan, maka pihak pertama yang merasakan dampaknya adalah seluruh peserta JKA yang jumlahnya kini mencapai 2 juta lebih.
Validasi Data
Sementara itu, Koordinator MaTA, Alfian, meminta Pemerintah Aceh menjelaskan kepada publik secara logis terkait penambahan peserta JKA dan naiknya premi BPJS yang harus dibayar. “Pemerintah Aceh wajib menjelaskan bagaimana validasi data yang telah dilakukan, bagaimana metodelogi yang dilakukan sehingga tidak tumpang tindih dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN),” ujar aktivis antirasuah ini.
Alfian mengungkapkan, pihaknya memiliki alasan kuat mempertanyakan anggaran tersebut, sebab pada tahun 2016, Pemerintah Aceh pernah melakukan validasi data peserta awal Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh (JKRA) yang saat itu 634.369 jiwa.
Padahal, sambungnya, hasil rekonsiliasi dengan pihak BPJS Kesehatan, hanya tercatat 2.066.979 jiwa sebagai peserta JKRA. Artinya ada 460.061 jiwa data Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang fiktif tetapi Pemerintah Aceh tetap membayar ke BPJS.
“Akibat adanya 460.061 jiwa data NIK yang fiktif, telah terjadi kerugian keuangan Aceh pada saat itu sebanyak Rp 63,4 miliar dari total Rp 506 miliar anggaran JKRA tahun 2016 yang sampai saat ini belum ada kepastian hukumnya,” ungkap Alfian.
Agar kasus serupa tidak kembali terulang, MaTA mendesak DPRA secara tegas untuk dapat memastikan validasi dan rekonsiliasi peserta BPJS di tahun 2021 agar tidak ada data fiktif, apalagi mengingat pembahasan APBA kali ini kejar tayang.
Sebagai gambaran, Alfian menjelaskan, Pemerintah Pusat memberikan kuota sebanyak 2,1 juta peserta JKN untuk Aceh. Kemudian Pemerintah Aceh juga menanggung 2,1 juta orang peserta asuransi kesehatan melalui program JKA, sehingga total ada 4,2 juta dari total 5 juta penduduk Aceh yang preminya ditanggung negara. Itu belum termasuk peserta mandiri yang jumlahnya diyakini juga tidak sedikit.
“Besar kemungkinan ada kepesertaan yang tercatat ganda, fiktif, atau bisa jadi ada peserta yang sudah meninggal dunia tetapi masih tercatat. Karena itu data ini sangat penting divalidasi sehingga anggaran itu betul-betul untuk melayani kesehatan orang yang berhak,” jelasnya.
Baca juga: MaTA Minta Pemerintah Aceh Buka Penggunaan Dana Refocusing Covid-19 Senilai Rp 2,3 Triliun
Karena itu, Alfian yakin, jika validasi data penerima progam JKA ini dilakukan, anggaran yang sebesar Rp 1,047 triliun itu bisa digunakan untuk peningkatan pelayanan kesehatan melalui program JKA Plus sebagaimana yang dijanjikan Pemerintahan Irwandi-Nova.
“MaTA juga meminta BPKP Perwakilan Aceh untuk melakukan segera audit data peserta JKA di tahun 2021 dengan maksud untuk mencegah potensi korupsi dalam tata kelola anggaran tersebut,” pinta Alfian.
Artikel ini telah tayang di serambinews.com, https://aceh.tribunnews.com/2020/11/28/masyarakat-harus-dapat-pelayanan-lebih-anggaran-jka-membengkak-jadi-rp-1047-triliun