Publikasi – Aceh masih menghadapi tantangan serius dalam perlindungan perempuan dan anak. Sepanjang 2019–2023, tercatat 5.020 kasus kekerasan terjadi, belum termasuk kasus yang tidak dilaporkan. Pada 2022, Aceh bahkan menempati urutan pertama nasional untuk kasus pemerkosaan yang dilaporkan, dengan 135 kasus.
Hingga Mei 2024, tercatat 476 kasus baru, dengan Aceh Utara dan Banda Aceh sebagai wilayah tertinggi. Namun, daerah dengan angka rendah seperti Aceh Barat belum tentu bebas dari kasus, karena kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan fenomena gunung es—banyak kasus tidak terungkap akibat rendahnya kesadaran dan akses untuk melapor.
Upaya perlindungan yang dilakukan pemerintah masih jauh dari cukup. Salah satu indikatornya adalah minimnya alokasi anggaran untuk Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh (DPPPA).
Dalam lima tahun terakhir (2020–2024), anggaran untuk DPPPA hanya sekitar 0,12% dari total APBA. Angka ini tentu sangat rendah untuk mendukung pencegahan, penanganan, dan rehabilitasi korban secara menyeluruh.
Dibutuhkan pendekatan yang holistik dan terintegrasi, mulai dari reformasi kebijakan, penguatan sistem perlindungan, peningkatan partisipasi kelompok rentan, hingga perhatian terhadap faktor ekonomi dan lingkungan.
Semua ini harus tercermin dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2025–2029, yang saat ini tengah disusun secara teknokratik sebagai pedoman bagi kepala daerah.
Untuk itu, penting dilakukan telaah ulang terhadap rancangan RPJMA guna memastikan isu perlindungan perempuan dan anak terakomodir dalam visi, misi, dan program kerja kepala daerah terpilih ke depan.
Berikut ini adalah dokumen Laporan background study dan policy brief yang disusun oleh MaTA sebagai bahan advokasi penguatan anggaran dan kebijakan untuk sektor ini.