MaTA – Sebagian masyarakat Aceh mendesak qanun jinayat — aturan yang menetapkan pelanggaran pidana yang perlu dikenakan hukum cambuk — tak cuma mengurus perkara personal, seperti zina, judi, dan LGBT, tapi juga kasus yang merugikan publik, termasuk korupsi.
Meski demikian, pejabat daerah mengklaim hukum cambuk di Serambi Mekah tak pandang bulu.
Baca juga: MaTA Dampingi Warga Paya Tieng Lapor Kasus Indikasi Korupsi ke Kejati Aceh
Wacana dimasukkannya korupsi dalam qanun jinayat kembali mengemuka setelah Gubernur Aceh Irwandi Yusuf ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan di Banda Aceh tahun lalu.
Waled Husaini, Wakil Bupati Aceh Besar, mengakui qanun belum menjangkau seluruh kasus hukum.
Dia sepakat hukuman potong tangan diterapkan untuk pelaku korupsi.
“Masyarakat dan ulama mengharapkan ini harus kaffah [menyeluruh]. Pencuri dengan korupsi itu kadang-kadang lebih bahaya orang korupsi. Ini perlu juga hukum potong tangan, harus ada,” kata dia.
Apakah hukum cambuk untuk koruptor mungkin dilaksanakan di Aceh?
Qanun Jinayat atau Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Aceh No. 6 tahun 2014 tentang Hukum Pidana hanya mengatur 10 pidana utama, antara lain khamar (miras), maisir (judi), khalwat (pasangan bukan muhrim), ikhtilath (bermesraan/bercumbu), zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, gadzaf (fitnah zina tanpa saksi minimal empat orang), liwath (gay) dan musahaqah (lesbian).
Sepanjang 2019, Polisi Syariat atau Wilayatul Hisbah kota Banda Aceh telah melakukan eksekusi hukuman cambuk terhadap 76 pelanggar qanun tentang hukum jinayat. Kasus paling dominan adalah perkara ikhtilat.