SIARAN PERS – Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Aceh yang terdiri dari YLBI-LBH Banda Aceh, Forum LSM Aceh, Walhi Aceh, Kontras Aceh, Katahati Institute, Aceh Institute, Komunitas Kanot Bu, Tikar Pandan, SP Aceh, Flower, JKMA, AJI Kota Banda Aceh dan MaTA melaksanakan Konferensi Pers untuk Menagih komitmen KPK terhadap penyelidikan kasus korupsi di Aceh. Konferensi Pers tersebut berlangsung di Kantor Masyarakat Transparansi Aceh (10/10/2022).
Widya Safitri selaku staf MaTA dalam paparannya menyatakan “Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Aceh melakukan penyelidikan terbuka pada Juni 2021, dan hingga 10 Oktober 2022 sudah memasuki 494 hari sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penyelidikan terbuka di Aceh belum ada perkembangan lebih lanjut terkait penyelidikan tersebut”.
Widya menambahkan Ada lima kasus yang diselidiki oleh KPK secara terbuka guna untuk melihat potensi tindak pidana dari lima kasus tersebut. Adapun lima kasus yang ditangani yaitu:
Pertama; kasus PLTU 3 dan 4 di Kabupaten Nagan Raya dimana proses perizinan dari pembangkit listrik tenaga uap tersebut dinilai bermasalah dan berpotensi terjadinya konflik kepentingan dalam partai yang sama antara kepala daerah kabupaten dengan gubernur yang menjabat pada saat itu.
Kedua; penyelidikan terkait pengadaan Kapal Penyeberangan Aceh Hebat 1, 2 dan 3 dimana kapal Aceh Hebat 1 untuk lintas Pantai Barat-Pulau Simeulue dengan nilai kontrak sebesar Rp.73.900.000.000 (tujuh puluh tiga miliar sembilan ratus juta rupiah).
Kemudian Kapal Aceh Hebat 2 lintas Ulee Lheue-Balohan dengan nilai kontrak sebesar Rp.59.787.002.000 (lima puluh sembilan miliar tujuh ratus delapan puluh tujuh juta dua ribu rupiah) dan pengadaan Kapal Aceh Hebat 3 untuk lintas Singkil-Pulau Banyak dengan nilai kontrak sebesar Rp.38.007.200.000 (tiga puluh delapan miliar tujuh juta dua ratus ribu rupiah).
Pengadaan kapal Aceh Hebat 1, 2 dan 3 tersebut dinilai bermasalah karena kondisi kapal banyak kerusakan padahal kapal tersebut merupakan kapal baru. MaTA menilai terjadinya tindak pidana kasus korupsi pada pengadaan Kapal Penyebrangan Aceh Hebat 1, 2 dan 3.
Ketiga; yaitu Proyek Multi Years (MYC), Paket Multi Years dengan 14 paket paket pembangunan jalan dan 1 paket berupa pembagunan bendungan, prosesnya terjadi tanpa ada persetujuan melalui paripurna DPR Aceh, hanya melalui penandatanganan berupa MoU, antara Pimpinan DPR dengan Gubernur Aceh saat itu.
Dengan nilai Rp 2.700.000.000.000 (dua triliun tujuh ratus miliar rupiah) sejak 2020 – 2022. Akan tetapi ada sedikit catatan dimana Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada Jum’at 18 September 2020 melalui Pimpinan juga telah melaporkan kasus multiyear kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Keempat; yaitu terkait Apendiks yang dimana Dalam APBA 2021 ada mata anggaran sebesar Rp256.000.000.000 (dua ratus lima puluh enam miliar rupiah) yang berkode AP/Apendiks (satu nomenklatur yang sama sekali tidak diketahui dalam sistem perencanaan dan penganggaran daerah) kasus ini juga menjadi salah satu kasus dari penyelidikan terbuka yang dilakukan oleh KPK.
Kelima; yaitu penggunaan dana Refocusing, Alokasi Refocusing di Provinsi Aceh sebesar Rp 2.300.000.000.000 (dua triliun tiga ratus miliar rupiah). Masuk ke dalam lima besar alokasi anggaran penanganan Covid-19 di Indonesia.
Akan tetapi sampai sekarang transparansi dan akuntabilitas dari penggunaan dana tersebut masih dipertanyakan dengan catatan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada Jum’at 18 September 2020, melalui Pimpinan juga telah melaporkan kasus penggunaan dana recofusing kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.