INFO KASUS – Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mempertanyakan penanganan kasus dugaan korupsi pekerjaan jalan Muara Situlen-Gelombang tahun 2018 sebesar Rp 11,6 Miliar di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh.
“Jaksa harus memperjelas perkembangan penanganan kasus jalan Muara Situlen – Gelombang. Kalau sudah ditetapkan ada tersangka kapan ditahan?. Karena kita tidak inginkan kalau ada tersangka yang sampai lari nantinya karena tidak ditahan dan kalau sampai melarikan diri bisa menghilangkan barang bukti yang dapat mempersulit proses hukum. Kalau belum ada tersangka harus diperjelas juga publik, ini sudah akhir tahun 2020,” ujar Koordinator MaTA, Alfian kepada Serambinews.com, Rabu (30/12/2020).
Baca juga: MaTA Duga Proyek MYC Terjadi Praktik Komitmen Fee
Kasus pekerjaan jalan Muara Situlen – Gelombang itu sudah lama dalam penyelidikan Kejati Aceh, MaTA patut mempertanyakan sejauh mana sudah perkembangannya.
Alfian mengatakan, publik butuh informasi tersebut, karena kasus dugaan korupsi pekerjaan jalan ini sudah menjadi konsumsi publik dan harus jelas kelanjutannya sudah sampai dimana?.
Pertanyaan tersebut menjadi sering datang ke MaTA karena banyak yang bertanya. Makanya, MaTA mempertanyakan kepada penyidik Kejati Aceh kepastian hukum terhadap suatu kasus korupsi penting diperjelas, jangan terkesan digantung-gantung.
“Dengan kejelasan kasus kasus dugaan korupsi pekerjaan jalan ini, publik tidak berasumsi macam-macam terhadap penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus yang dimaksud yang sedang ditangani di Kejati Aceh,” ujar Alfian.
Oleh karena itu, MaTA memiliki harapan penuh kepada Kejati Aceh untuk menuntaskan kasus tersebut sampai selesai dengan melibatkan PPATK untuk menelusuri aliran dana proyek pembangunan jalan Muara Situlen – Gelombang sehingga kepatian hukum terhadap kejahatan luar biasa memang benar benar nyata di hadirkan oleh “Negara”.
“Dalam kasus dugaan korupsi pekerjaan jalans ini jangan sampai ada yang jadi korban, apalagi dikorbankan, makanya perlu kejelian penyidik untuk menelusuri aliran dana dengan melibatkan PPATK,” ujar Alfian.
Sementara itu, Kepala Seksi (Kasi) Penerangan Hukum dan Humas Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh Munawal Hadi SH, mengatakan, kasus dugaan korupsi pekerjaan jalan Muarasitulen – Gelombang masih dalam penyidikan.
Terkait tersangka kita belum dapat info dari pidana khusus (Pidsus) karena belum dilihatnya. Rencananya, Januari kita undang rekan-rekan media ke kantor,”katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh surati permintaan supervisi kasus dugaan korupsi jalan proyek Muara Situlen-Gelombang Kabupaten Aceh Tenggara ke Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK-RI).
Baca juga: MaTA Nilai Pemerintah Belum Fokus pada Pencegahan Korupsi
Hal itu disampaikan Koordinator GerAK Aceh, Askhalani SHI, yang diterima Serambinews.com dalam rilisnya, Selasa (17/11/2020) mengatakan, proyek peningkatan jalan Muara Situlen–Gelombang adalah merupakan proyek yang di danai dari sumber Alokasi Anggaran APBA dan bersumber dari anggaran dana otonomi khusus (DOKA).
Proses pembangunan jalan ini meliputi pembangunan jalan insfrastruktur di Kabupaten Aceh Tenggara dan Subulussalam, proses pembangunan jalan ini dirancang dan dimulai dari tahun 2013 hingga tahun 2020.
Berdasarkan hasil kajian dan analisa terhadap fakta-fakta dari dokumen perencanaan pembangunan diketahui bahwa, proyek pembangunan jalan muara situlen – gelombang yang bersumber dari dana Otsus ini diduga menimbulkan dugaan tindak pidana korupsi terncana dan terstruktur.
Salah satu modus operandinya adalah dengan adanya pemindahan lokasi badan jalan atas proyek ke lokasi baru secara terpisah-pisah dan diduga berada masuk dalam kawasan hutan tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
Bahkan berdasarkan fakta temuan diketahui dilaksanakan oleh pihak ketiga diduga (subkontrak) dengan tujuan untuk kepentingan memperoleh fee dan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku dan dimana waktu pengerjaan diketahui telah melampaui batas waktu pelaksanaan sebagaimana tertuang dalam dokumen kontrak.
Berdasarkan hasil audit pemeriksaan oleh BPK-RI terhadap pembangunan jalan Muara Situlen-Gelombang dengan Nomor : 9.C/LHP/XVIII.BAC/05/2019 tertanggal 20 Mei 2019 atas laporan hasil keuangan APBA tahun anggaran 2018, ditemukan adanya fakta dugaan dan kesengajaan dalam pembangunan untuk memperoleh keuntungan secara besar yaitu dengan mengurangi volume atas pekerjaan lapisan pondasi agregat kelas A pada badan jalan.
Pekerjaan peningkatan jalan Muara Situlen-Gelombang ini dilaksanakan dan dimenangkan oleh PT Putra Aceh Kontruksi dan berdasarkan Surat Perjanjian Pelaksaan Pekerjaan Nomor 12-AC/UPTD V/PUPR/APBA/2018 tanggal 16 Agustus 2018 dengan nilai kontrak sebesar Rp 11.687.817.000 dengan jangka waktu pelaksanaan pekerjaan selama 120 hari kelender dimulai dari tanggal 16 Agustus sampai 13 Desember 2018, dan bardasarkan fakta diketahui bahwa pekerjaan ini sudah diserahterimakan berdasarkan BAST Nomor BA.STP/UPTD V/394.d/PUPR/XII/2018 tanggal 13 Desember 2018 dan telah dibayar lunas.
Dalam pelaksanaan kontrak ditemukan adanya fakta dua kali terjadi perubahan sesuai dengan addendum masing-masing nomor 12.1-AC/UPTD/PUPR/APBA/2018 tanggal 19 Oktober 2018 dan 12.2-AC/UPTD/PUPR/APBA/2018 tanggal 7 Desember 2018 masing-masing menetapkan tambahan kurang volume pekerjaan.
Berdasarkan hasil kajian terhadap bukti dokumen kontrak pekerjaan peningkatan jalan Muara Situlen – Gelombang diketahui bahwa salah satu item pekerjaan adalah pekerjaan perkerasan berbutir yakni lapis pondasi agregrat kelas A pada ruang jalan Muara Situlen–Gelombang dengan volume sebesar 337,50 m3 dengan harga satuan sebesar Rp 707.211 atau senilai Rp 238.683.712,50.
Pekerjaan lapis pondasi agregrat kelas A tersebut merupakan volume atas pekerjaan badan jalan dengan lebar 4,5 meter sepanjang 500 meter dengan tebal 15 sentimeter atau sebesar 337,50 meter kubik.
Berdasarkan hasil kajian dan temuan di lapangan diketahui bahwa tim BPK-RI bersama dengan PPTK, pihak konsultan pengawas dan pihak penyedia jasa diketahui bahwa ditemukan adanya kekurangan volume atas pekerjaan lapis pondasi agregat kelas A pada badan jalan.
Berdasarkan hasil kajian terhadap bukti dokumen kontrak pekerjaan peningkatan jalan Muara Situlen – Gelombang diketahui bahwa salah satu item pekerjaan adalah pekerjaan perkerasan berbutir yakni lapis pondasi agregrat kelas A pada ruang jalan Muara Situlen–Gelombang dengan volume sebesar 337,50 m3 dengan harga satuan sebesar Rp 707.211 atau senilai Rp 238.683.712,50.
Pekerjaan lapis pondasi agregrat kelas A tersebut merupakan volume atas pekerjaan badan jalan dengan lebar 4,5 meter sepanjang 500 meter dengan tebal 15 sentimeter atau sebesar 337,50 meter kubik.
Berdasarkan hasil kajian dan temuan di lapangan diketahui bahwa tim BPK-RI bersama dengan PPTK, pihak konsultan pengawas dan pihak penyedia jasa diketahui bahwa ditemukan adanya kekurangan volume atas pekerjaan lapis pondasi agregat kelas A pada badan jalan.
Baca juga: Pengadaan Meubelair di Dinas Pendidikan Aceh Diduga Menyimpang
Berdasarkan hasil pengujian test spit di lapangan diketahui bahwa pekerjaan lapis pondasi pada badan jalan memiliki tebal rata-rata 7 cm, sehingga terdapat selisih atas perhitungan volume aggregat kelas A sebesar 180,00 m3 (0,08 m x 500 m x 4,5 m) atau senilai Rp127.297.980,00 (180,00 m3 x Rp707.211,00).
Selain itu, berdasarkan hasil fakta lapangan selain ditemukan adanya pelanggaran hukum terhadap pengurangan volume perkerjaan yang berpotensi merugikan keuangan negara, hal lainnya juga ditemukan adanya pekerjaan sub kontrak kepada pihak lain untuk mengerjakan pekerjaan, pengurukan material galian C ilegal dan sama sekali tidak melalui proses administrasi.
Selain itu, adanya potensi pemindahan lokasi jalan yang seharusnya dilakukan pembangunan dari sejak awal tapi kemudian dipindahkan pada objek lain yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan besar karena material galian C yang dipakai adalah galian ilegal yang berada pada jalur dan masuk kawasan hutan lindung atau bentang alam Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Berdasarkan fakta-fakta hukum diatas, dapat disimpulkan adanya beberapa hal yang menjadi fokus tentang modus operandi dalam perkara pembangunan jalan Muara Situlen- Gelombang diantaranya yakni, adanya dugaan dan potensi pemindahan titik lokasi jalan yang dilakukan secara terencana dengan melibatkan pejabat tinggi di Agara, dengan tujuan jalan penghubung ini dapat memudahkan mendapat material galian C yang akan dipakai sebagai bahan pembangunan jalan, dan lokasi ini sendiri berada dalam kawasan hutan dan tidak memiliki izin galian (ilegal).
Adanya dugaan sub kontrak pekerjaan dari perusahaan pemenang tender kepada pihak ke 3 dan lainnya, kegiatan sub kontrak ini dilakukan kepada perusahaan yang dapat diduga memiliki konflik kepentingan dengan pejabat publik di daerah, kepantingan sub kontrak ini berpengaruh pada proses pembangunan jalan dan ini dibuktikan dari hasil temuan audit BPK-RI yang menemukan adanya dugaan korupsi terencana pada pembangunan jalan yaitu dengan mengurangi kualitas dan kuantitas proyek jalan.
Hasil audit BPK-RI menemukan potensi korupsi terencana dan terstruktur yaitu ditemukan adanya kekurangan volume atas pekerjaan lapis pondasi agregat kelas A pada badan jalan, dan berdasarkan hasil pengujian test spit dilapangan diketahui bahwa pekerjaan lapis pondasi pada badan jalan memiliki tebal rata-rata 7 cm, sehingga terdapat selisih atas perhitungan volume aggregat kelas A sebesar 180,00 m3 (0,08 m x 500 m x 4,5 m) atau senilai Rp127.297.980,00 (180,00 m3 x Rp707.211,00).
Dan merujuk pada hasil audit ini dapat diduga hal yang sama terjadi pada pembangunan jalan lain di kawasan Aceh Tenggara dan Subulussalam karena pembagunan jalan ini meliputi wilayah situlen dan gelombang dengan jumlah total anggaran yang dilakukan bervariasi dan dianggarkan setiap tahun oleh Pemerintah Aceh dan bersumber dari dana Otonomi Khusus (Otsus).
Merujuk pada fakta-fakta hukum diatas, maka Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh dengan ini menyatakan sikap sebagai berikut mendukung KPK- RI untuk dapat melakukan supervisi terhadap penanganan perkara kasus dugaan korupsi peningkatan jalan Muara Situlen Gelombang Aceh Tenggara yang saat ini sedang ditangani dan penanganan oleh di Kejaksaan Tinggi Aceh.
Tujuan dilakukan supervisi perkara ini tidak hanya menyasar pada pelaku yang melakukan atau menerima sub pekerjaan saja, akan tetapi sangat penting untuk membuka siklus korupsi terencana yang dilakukan apalagi adanya fakta dugaan keterlibatan secara langsung pejabat publik di daerah dalam pengambil keputusan atas pemindahan lokasi jalan.
Supervisi atas perkara yang sedang dilakukan proses Penyidikan Hukum oleh Kejaksaan Tinggi Aceh menjadi penting karena secara kedudukan perkara pembangunan jalan Muara – Situlen Gelombang ini adalah pembangunan jalan lintas Kabupaten.
Dan dari hasil kajian ditemukan adanya potensi perkara ini bukan hanya terjadi pada tahun anggaran 2018 tetapi juga terjadi pada tahun 2019 dan tahun 2020 baik yang dilakukan di wilayah kerja kabupaten Aceh Tenggara maupun terjadi wilayah Kota Subulussalam, serta faktor lain adalah pembangunan jalan ini berpotensi melanggar hukum karena sebagaian besar aspek pelanggaran adalah adanya jalur pembangunan berada di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Berdasarkan fakta hukum dan dari hasil audit yang dilakukan oleh BPK-RI ternyata fokus audit tidak dilakukan secara keseluruhan, akan tetapi hanya dilakukan secara acak dan tidak berkesinambungan, dan ini menunjukan bahwa adanya kekeliruan dari fokus audit, sebab BPK-RI sama sekali tidak menyentuh substansi lain yang seharusnya menjadi fokus audit, yaitu keberadaan lintas jalan yang berpotensi merusak bentang alam dan sebagaian besar material untuk pembangunan pekerjaan di lakukan dalam bentang alam TNGL.
Selain itu, adanya potensi pengunaan bahan bangunan ilegal dan tidak melalui proses legal (galian C) dan oleh karenanya KPK-RI perlu melakukan supervisi terhadap perkara dengan tujuan membuka adanya peran dan aktor lain yang menjadi dalang dibalik korupsi terencana pada pembangunan jalan lintas Muara Situlen – Gelombang.
Berita ini disalin dari https://aceh.tribunnews.com/2020/12/30/jelang-akhir-tahun-mata-mempertanyakan-kasus-muara-situlen-gelombang