Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) dan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Wilayah Nahdatul Ulama (Lakpesdam PWNU) Aceh bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) menyampaikan hasil kajian implementasi Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) di Aceh ke Tim Stranas PK dan Kantor Staf Presiden (KSP) di Jakarta.
Laporan kajian implementasi Stranas PK di Aceh disampaikan dalam forum seminar publik yang digelar di gedung KPK pada 25 September 2019. Forum ini dihadiri oleh Ronny Dwi Susanto selaku Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Penerintah (LKPP) dan Neneng Widasari, anggota tim Stranas PK.
Laporan kajian implementasi Stranas PK tersebut pun juga disampaikan kepada Kantor Staf Presiden (KSP) pada 26 September 2019 dan diterima oleh Abraham Wirotomo, staf Deputi II di ruang kerja Deputi II KSP.
Berdasarkan hasil kajian, implementasi Stranas PK di Provinsi Aceh dan Kota Banda Aceh berjalan stagnan. Padahal Stranas PK ini merupakan Peraturan Presiden (Perpres Nomor 54 tahun 2018) yang wajib dijalankan oleh Pemerintah Daerah untuk memaksimalkan pencegahan korupsi di daerah.
Salah satu temuan yang belum diterapkan adalah konsolidasi pengadaan. Ini merupakan hal mendasar dan urgen dilakukan untuk mengantisipasi pemecahan paket-paket proyek pengadaan yang disinyalir berpotensi korupsi. Selain itu, analisis pejabat fungsional di lingkungan unit pengadaan juga belum dilakukan.
Sebagai informasi, kajian MaTA dan Lakpesdam PWNU Aceh difokuskan pada dua hal. Pertama pada peningkatan profesionalitas dan modernisasi pengadaan barang dan jasa dan kedua pada perbaikan tata kelola sistem peradilan terpadu.
Khusus di sistem peradilan terpadu, temuan MaTA dan Lakpesdam PWNU Aceh adalah Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh belum menerapkan sistem pertukaran data tingkat pertama secara online. Sistem ini merupakan terobosan baru dalam upaya penegakan hukum di Indonesia.
Sedang di Polda Aceh, Lakpesdam PWNU Aceh tidak mendapatkan informasi apapun. Mereka terkesan menutup diri untuk dimintai informasi. Bahkan surat yang disampaikan tidak ditanggapi oleh Polda Aceh. Ini merupakan kemunduran yang ditunjukkan oleh Polda Aceh.
Selain temuan-temuan tersebut, MaTA dan Lakpesdam Aceh juga menyampaikan temuan lain seperti dugaan “pengaturan pemenang” pelelangan barang dan jasa. Meskipun pelelangannya sudah satu pintu namun oknum pejabat telah menetapkan pemenang meskipun proyek tersebut belum dilelang.
Temuan lainnya adalah masih banyak paket proyek yang pengadaannya masih menggunakan pola lama dan juga beberapa dipecah-pecah menjadi beberapa paket agar bisa dilakukan Penunjukkan Langsung (PL) oleh oknum-oknum pejabat.
Selain itu, MaTA dan Lakpesdam PWNU Aceh juga menemukan adanya dugaan permainan harga barang sebelum perencanaan anggaran dilakukan. Artinya, potensi korupsi sudah didesain dari awal sebelum pekerjaan dengan kata lain telah ada “pemufakatan jahat”.
Disisi lain, MaTA dan Lakpesdam PWNU Aceh melihat ada kesan tidak serius yang ditunjukkan oleh beberapa pejabat. Semua implementasi Stranas PK seakan-akan ditujukan kepada unit pengadaan barang dan jasa. Ini kan aneh, padahal unit ini hanya unit kecil yang perlu diawasi kinerjanya karena rawan disusupi oleh oknum-oknum pejabat.
MaTA dan Lakpesdam PWNU Aceh meminta Tim Stranas PK dan KSP agar laporan ini menjadi acuan untuk memprioritaskan Aceh dalam pengawasan dan pendampingan implementasi Stranas PK. Ini bertujuan agar anggaran yang melimpah di Aceh tidak “menguap” tanpa output dan outcome yang jelas.
Jakarta, 25 September 2019
Badan Pekerja
Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA)
dto
BAIHAQI
Koordinator Bidang Hukum dan Politik