Dalam Media |Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, menilai majelis hakim tidak mempertimbangkan dengan baik putusan perkara korupsi redistribusi sertifikat tanah di Gampong Paya Laot, Kecamatan Setia Bakti, Aceh Jaya.
Menurutnya, putusan perkara korupsi tidak bisa hanya dipandang sebagai kerugian negara saja, tetapi juga dampak buruk sosial masyarakat Aceh. “Jadi kami melihat apa yang terjadi hari ini ada upaya mafia Peradilan di Pengadilan Tipikor Aceh,” kata Alfian kepada HabaAceh.id, Selasa (30/1).
Alfian mengatakan hal tersebut terlihat berdasarkan putusan vonis bebas yang menjadi trend sepanjang 2023 lalu.
Menurutnya, trend buruk tersebut berbahaya bagi percepatan pemberantasan tindak pidana korupsi di Aceh. “Kita tidak menginginkan pengadilan Tipikor menjadi pengadilan korporasi artinya pengadilan bisnis, ini sangat berbahaya,” ujarnya.
Kemudian, dia mengatakan seharusnya majelis hakim Pengadilan Tipikor Banda mengadili kasus tindak pidana korupsi menggunakan cara-cara yang luar biasa.
Kasus korupsi sendiri digolongkan sebagai extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa. “Pengadilan Tipikor Aceh ini tidak mencerminkan korupsi itu kejahatan luar biasa. Seharusnya mengadili dengan cara-cara yang luar biasa bukan malah memberikan keringanan kepada para koruptor,” ujarnya.
Baca Juga : MaTA Sarankan Audit Dana Kampanye Parpol Dikeluarkan sebelum Pemilu
Dalam perkara yang melibatkan Kepala Badan Pertanahan Negara tersebut dinilai tidak masuk akal lantaran majelis hakim hanya memvonis satu tahun penjara, sementara Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut penjara selama 12 tahun.
Baca Juga : MaTA Desak Panwaslih Agara Usut Tuntas Keterlibatan Oknum Caleg Dalam Pelipatan Surat Suara
“Patut diduga ini adanya upaya negosiasi potensi adanya mafia dalam kasus ini juga sangat besar. Karena sebagai kepala BPN, dia menerima mandat yang besar, seharusnya dihukum dengan pidana yang lebih berat bukan malah meringankan,” katanya.
Alfian juga mengkritisi keberadaan Komisi Yudisial (KY) Aceh yang telah berdiri sejak tahun 2003 lalu. Dia menilai, KY hingga kini tidak melakukan tugasnya dengan baik.
“Seharusnya KY di Aceh ini melakukan kajian terhadap putusan maupun cara-cara yang tidak luar biasa dalam penanganan pada kasus korupsi,” pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Banda Aceh menjatuhkan vonis satu tahun penjara terhadap mantan Kepala Badan Pertanahan Kabupaten Aceh Jaya tahun 2016, Teuku Johan.
Dia divonis bersalah atas kasus korupsi Kegiatan Redistribusi Tanah Obyek Landreform (TOL) di Desa Paya Laot, Kecamatan Setia Bakti, di Kabupaten Aceh Jaya.
Vonis tersebut jauh dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Aceh Jaya yang menuntut terdakwa Teuku Johan selama 13 tahun penjara.
Dalam amar putusannya, majelis hakim menjatuhkan pidana kurungan penjara terhadap terdakwa Teuku Johan selama satu tahun dengan denda sebesar Rp100 juta subsider tiga bulan kurungan.
Majelis hakim juga menjatuhkan vonis terhadap Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan BPN Aceh Jaya, Zulfany, dalam perkara yang sama.
“Terhadap terdakwa Zulfany telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan dijatuhi hukuman penjara selama satu tahun subsider tiga bulan kurungan dan dibebankan uang pengganti sebesar Rp160 juta subsider satu tahun kurungan,” kata majelis hakim dalam persidangan, Senin (29/1).
Salinan ini telah tayang di https://www.habaaceh.id/news/vonis-rendah-kasus-redistribusi-sertifikat-tanah-mata-ada-mafia-peradilan-di-pengadilan-tipikor/index.html.