Kegiatan MaTA |Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) masih menjadi tulang punggung kelistrikan nasional, termasuk di Aceh. Namun, manfaatnya kini dipertanyakan, terutama oleh warga yang terdampak langsung oleh pencemaran dan ketimpangan sosial di sekitar kawasan industri.
Isu ini mengemuka dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Kajian Dampak Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan dari PLTU dengan Perspektif Transisi Berkeadilan” yang digelar Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) dan Indonesian Parliamentary Center (IPC), Senin (26/6/2025). FGD tersebut menghadirkan perwakilan DPRA, ESDM, PLN, akademisi, serta masyarakat sipil.
PLTU Nagan Raya menjadi sorotan karena meski telah menerapkan co-firing sejak 2021, emisi karbon dari sektor energi di Aceh tetap tinggi, mencapai 801 megagram CO₂.
Sementara itu, Dedi Muhammad perwakilan dari Dinas ESDM Aceh menyampaikan bahwa pembangunan PLTA Peusangan yang direncanakan sejak 2009 masih belum rampung, menunjukkan lambannya peralihan ke energi bersih.
Aceh juga menghadapi surplus pasokan listrik: daya mampu mencapai 1.000 MW, sedangkan konsumsi hanya sekitar 580 MW. Kondisi ini memicu dilema dalam pembangunan pembangkit baru.
Pemerintah Aceh pun telah menetapkan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) 2019–2050 tanpa penambahan PLTU baru, ujarnya.
Jeffrey Husni – Senior Manager Perencanaan Unit Ditribusi PLN Aceh dalam paparan nya mengatakan bahwa PLN Aceh menyatakan komitmennya mendukung transisi energi dengan mengedepankan keseimbangan daya dan permintaan, serta mengembangkan infrastruktur kendaraan listrik.
Namun, hanya 3,49% bauran energi Aceh berasal dari sumber terbarukan. Sebagian besar masih disuplai oleh PLTU berbasis batu bara.
Direktur WALHI Aceh menilai kebijakan transisi energi pemerintah masih setengah hati dan cenderung melanggengkan ketergantungan pada energi fosil. Ia mengkritik solusi seperti co-firing dan CCS sebagai “solusi palsu” yang justru menambah beban masyarakat dan merusak lingkungan.
“Kita bicara keadilan energi, tapi warga masih menanggung dampak abu, pencemaran air, hingga penurunan hasil tangkapan ikan,” ujarnya.
WALHI mendesak penghentian izin baru PLTU dan tambang batu bara, serta mendorong investasi pada energi terbarukan yang dikelola oleh komunitas lokal.
Akademisi UIN Ar-Raniry, Suardi Nur, menegaskan bahwa transisi energi harus dilakukan bertahap, adil, dan berbasis kajian ilmiah. Ia menyoroti bahwa co-firing belum tentu memenuhi standar penurunan emisi yang ditetapkan.
“Jangan sampai solusi murah justru memberatkan PLTU dan tidak menyentuh akar persoalan polusi,” katanya.
Ia juga mengkritik promosi kendaraan listrik jika masih mengandalkan listrik dari batu bara.
“Kalau energi listriknya masih kotor, emisi hanya berpindah dari jalan ke pembangkit,” ujarnya. Ia menekankan pentingnya memperkuat bauran energi bersih sebelum mendorong elektrifikasi transportasi secara luas.