Kegiatan MaTA – Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Nagan Raya, salah satu infrastruktur energi strategis yang selama ini menjadi tumpuan penyediaan listrik untuk Aceh dan sebagian wilayah Sumatera, kembali menjadi sorotan.
Di balik kontribusinya terhadap pasokan listrik, riset terbaru mengungkap sejumlah dampak signifikan terhadap lingkungan, sosial, dan ekonomi yang dinilai perlu segera ditangani melalui kebijakan transisi energi yang adil dan berkelanjutan.
Hal itu menjadi fokus dalam kegiatan diseminasi dan dialog kebijakan bertajuk “Urgensi Transisi Energi dalam Mengurangi Dampak Lingkungan, Ekonomi, dan Sosial di Nagan Raya” yang digelar pada Kamis, 6 November 2025, di Hotel Kyriad Muraya, Banda Aceh.
Acara ini mempertemukan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari anggota parlemen DPR RI dan DPRA, akademisi, Pemerintah Daerah, Masyarakat sipil, hingga Media Massa.
Policy brief hasil riset Indonesian Parliamentary Center (IPC) dan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mencatat tiga dampak utama operasional PLTU Nagan Raya:
Dampak Lingkungan, Emisi dari pembakaran batu bara dinilai berpotensi merusak kualitas udara dan air, mengancam ekosistem pesisir, serta memperburuk krisis iklim. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran terhadap keberlanjutan lingkungan di wilayah sekitar PLTU.
Dampak Sosial, Masyarakat sekitar PLTU menghadapi masalah kesehatan akibat polusi udara dan air, potensi konflik lahan, dan terganggunya mata pencaharian tradisional seperti nelayan dan petani. Hal ini memunculkan isu keadilan sosial dan perlindungan masyarakat terdampak.
Dampak Ekonomi, Meski PLTU menciptakan lapangan kerja, distribusi manfaat ekonomi dinilai belum merata. Sektor perikanan dan pertanian justru mengalami penurunan produktivitas, sementara biaya eksternalitas lingkungan dan kesehatan belum diperhitungkan secara memadai dalam kebijakan energi.
Melalui forum tersebut, penyelenggara berharap terwujud ruang dialog konstruktif untuk menyatukan pandangan dan rekomendasi kebijakan.
Acara ini bertujuan mendiseminasikan temuan kunci dari policy brief dan membuka diskusi strategis antara anggota parlemen, pakar energi, akademisi, serta masyarakat sipil.
Pada kesempatan ini, para peserta akan mengeksplorasi bagaimana kebijakan transisi energi dapat diterapkan secara efektif, inklusif, dan sesuai dengan kekhususan Aceh dalam pengelolaan sumber daya alam.
Kegiatan ini diisi oleh sejumlah narasumber utama, yaitu Arif Adiputro dari Indonesian Parliamentary Center (IPC), Anggota DPR-RI Dr. H. M. Nasir Djamil, M.Si, Anggota Komisi III DPRA Hadi Surya, S.TP., MT, Akademisi Universitas Teuku Umar Dr. Afrijal Tjoetra, M.Si, serta Cut Asmaul Husna, S.Ag., M.M.
Kegiatan ini diharapkan menghasilkan dokumen rumusan rekomendasi kebijakan yang akan disampaikan kepada para pembuat kebijakan sebagai bahan advokasi lanjutan.
Lebih dari itu, forum ini juga ditargetkan mampu membangun pemahaman dan komitmen awal dari para legislator untuk memperjuangkan kebijakan energi yang lebih adil, berpihak pada lingkungan, dan menyejahterakan masyarakat.
Acara akan dihadiri sekitar 20 peserta yang terdiri dari perwakilan Pemerintah Aceh (DLHK, Dinas ESDM, dan Bappeda), Anggota DPR-RI dan DPRA, akademisi, organisasi masyarakat sipil, serta media lokal dan nasional.
Dialog ini menjadi momentum penting untuk memastikan bahwa arah pengembangan energi di Aceh ke depan tidak hanya bertumpu pada kebutuhan listrik, tetapi juga menjamin keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial bagi masyarakat terdampak.
