MaTA Minta Tersangka SPPD Fiktif DPRK Simuelue Ditahan

Info Kasus |Dalam kasus tindak pidana korupsi tidak ada istilah koperatif karena indonesia menganut korupsi adalah kejahatan yang luar biasa jadi proses penanganannya juga harus luar biasa.

Jadi jika ada pihak Kepolisian atau Kejaksaan mengatakan bahwa ketika ditetapkan tersangka tetapi tidak ada penanganan dan itu di anggap adalah koperatif,

saya fikir ini adalah bagian dari negosiasi dengan orang-orang yang berprilaku korup, hal tersebut disampaikan oleh Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian di kantornya pada Media ini, Selasa (07/02/2023).

Baca Juga : MaTA Desak Kejari Pidie Jaya Ungkap Dalang Dibalik 2 PNS Tersangka Koruptor

Negara seharusnya dalam hal ini, untuk Kejaksaan terutamanya untuk tidak bernegosiasi dengan mereka,

seperti kasus saat ini yang sudah bergulir pengadilan saat ini terkait Dugaan Korupsi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) Fiktif Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Simeulu,

jadi bagaimana dikatakan orang koperatif tetapi dia sudah melakukan tindak pidana korupsi, apalagi menyangkut keuangan negara yang telah mereka lakukan tentu dengan unsur kesengajaan, ungkapnya.

Baca Juga : Ayah Merin Ditangkap, MaTA Minta KPK Telurusi Aliran Dana di Kasus Korupsi Penerimaan Gratifikasi

Sebagaimana 6 (enam) orang tersangka yang saat ini sedang di adili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yaitu :
1. Drs Astamudin S, ASN/Sekwan DPRK Simeulu.
2. Ridwan Amd, ASN (Bendahara pengeluaran DPRK Simeulu TA.2019).
3. Mas Etika Putra, ASN (PPP-SKPK Sekretariat DPRK Simeulu TA 2019)
4. Irawan Rudiono S.Sos, Anggota DPRK Partai PKS periode 2014-2019 dan 2019-2024).
5. Poni Harjo, Anggota DPRK Partai Hanura periode 2019-2024.
6. Murniati SE, mantan Ketua DPRK periode 2014-2019

Baca Juga : Catatan Kritis Pokja Lima Masyarakat Sipil Aceh Tahun 2022

Tentu sudah seharusnya mereka prioritaskan begitu menetapkan tersangka semestinya dilakukan penahanan dan juga di ungkapkan siapa saja aktor lainnya, karena kasus-kasus ini saya lihat juga ada pelaku yang belum sepenuhnya di ungkapkan oleh penyidik, ujarnya.

Apalagi ini perilaku yang sangat tidak beradap, apalagi anggota legislator DPRK Simeulu yang kita ketahui sebagai salah satu fungsinya adalah membangun dan melahirkan legislasi terhadap hukum,

Baca Juga : LSM Antikorupsi: Memalukan DPRA dan Eksekutif Jalan-Jalan Ke Luar Negeri Kuras Uang Rakyat, Perlu Kewarasan

tentunya mereka juga yang merancang dan memutuskan terhadap aturan-aturan, tetapi mereka juga yang melakukan prilaku melanggar hukum. Jadi di anggap mereka lebih koperatif, tegasnya.

Jadi beberapa kasus tindak pidana korupsi kita selalu menyiapkan jaksa, karna jaksa sering sekali menganggap seorang koruptor itu koperatif,

jadi dimana logika yang mereka gunakan koperatif, memang saat ini Pengadilan Tipikor dalam kita ketahui bahwa tidak dalam kondisi baik-baik saja, misalnya pada tahun 2022 ada 5 kasus yang telah di vonis bebas dan ada 2 yang sudah dilakukan kasasi dan hasil kasasinya dikabulkan oleh pihak mahkamah agung, kata Alumnus Abulyatama.

Sehingga ketika terpidana diputuskan bersalah. Artinya putusan-putusan Pengadilan Tipikor dan kebijakan Tipikor itu belum tentu benar, artinya ada ruang untuk dilakukan pengujian kembali yaitu adalah melalui Mahkamah Agung, imbuhnya.

Misalnya terkait kasus SPPD Fiktif ini ketika penyidik atau kejaksaan tidak melakukan penahanan tapi di proses Tipikor ditahan,

nah ini belum pernah terjadi, kalaupun terjadi ini sudah pasti sejarah baru dalam peradilan terutama kasus-kasus Korupsi, malah ada kasus di Kejaksaan kemudian dilimpahkan ke Tipikor justru dilakukan penahanan kota, tandasnya

“Jadi saya berharap adanya proses sinergisitas antara Penyidik, Penuntut, dan Pengadil ini belum clear, terbukti belum memiliki keselarasan dalam proses penyelesaian dalam konteks penegakan hukum terutama terhadap kasus korupsi di Provinsi Aceh.”

Untuk kasus SPPD fiktif sebaiknya harus dilakukan penahanan, serta adanya pengungkapan di pengadilan terutama para saksi itu menjadi alat bukti proses tindak lanjut hakim kepada kejaksaan untuk melakukan penyelidikan dan

penyidikan berlanjut, dan pengungkapan di pengadilan itu menjadi bukti kuat agar tidak bisa di abaikan,

artinya jika ada pihak lain yang diduga terlibat misalnya yang sudah terungkap di pengadilan itu malah di abaikan oleh hakim, seharusnya hakim bisa meminta kepada kejaksaan untuk melakukan pengembangan terhadap pengakuan tersebut, pungkas Alfian.

berita ini telah tayang di https://www.kontrasaceh.net/2023/02/07/mata-minta-tersangka-sppd-fiktif-dprk-simuelue-ditahan/

Berita Terbaru

MaTA : Mempertanyakan Komitmen Review dan Probity Audit Oleh Inspektorat Aceh Dengan KPK

Siaran Pers - Masyarakat Transparansi Aceh mempertanyakan komitmen Review dan Probity Audit Oleh Inspektorat Aceh dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Koordinator MaTA menyampaikan, Berdasarkan analisis...

Catatan Kritis Atas Tindak Pidana Korupsi BRA

Siaran Pers - Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh untuk mengusut tuntas aliran dana dugaan korupsi di Badan Reintegrasi...

Mengulik Korupsi Lewat Kolaborasi

Kegiatan MaTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menggelar diskusi publik untuk penguatan Klub Jurnalis Investigasi (KJI) Aceh dalam meliput...

MaTA Mengajak Multistakeholder Kampus Untuk Mewujudkan Tata Kelola Tambang Yang Ramah Lingkungan

MaTA - MaTA bekerjasama dengan PATTIRO dengan dukungan FORD Foundation dan persetujuan dari Bagian Perencanaan Setditjen Bina Bangda, untuk bekerjasama dengan Subdit Sosial dan...