Beranda blog

JPU Didesak Ajukan Kasasi Atas Vonis Ringan Koruptor Dana Korban Konflik

Dalam Media |Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, mendesak Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk mengajukan kasasi atas vonis ringan yang dijatuhkan kepada dua terdakwa kasus korupsi pengadaan budidaya ikan kakap dan pakan rucah bagi korban konflik di Aceh Timur.

Ia menilai putusan yang jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa tidak mencerminkan keadilan dan mengabaikan dampak sosial yang ditimbulkan akibat kejahatan tersebut. “Kasus ini bukan sekadar tindak pidana korupsi, tetapi sudah masuk kategori kejahatan luar biasa.

Dana yang dikorupsi seharusnya digunakan untuk membantu korban konflik, sehingga dampaknya tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga secara sosial bagi masyarakat,” ujar Alfian, Rabu, 19 Maret 2025.

Baca Juga : MaTA Desak Kajati Periksa Kajari Aceh Tengah

Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh menjatuhkan hukuman lima tahun penjara kepada Muhammad, selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), dan empat tahun penjara kepada Mahdi, selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK). Keduanya juga dikenai denda Rp 100 juta subsider tiga bulan kurungan.

Baca Juga : Laporan Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2024

Alfian menegaskan bahwa kasus ini tidak boleh hanya dilihat dari aspek kerugian negara sebesar Rp 15,7 miliar, tetapi juga dari dampak sosial yang ditimbulkan. Ia mencurigai adanya indikasi mafia hukum yang memungkinkan vonis ringan juga dijatuhkan terhadap tiga terdakwa lainnya dalam kasus yang sama.

“Dari awal sudah terlihat adanya kejanggalan. Jika pola ini terus berulang, kepercayaan publik terhadap Pengadilan Tipikor akan runtuh,” tegasnya. Sementara itu, pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh menyatakan masih menunggu arahan pimpinan terkait kemungkinan pengajuan kasasi atas vonis ringan tersebut.

Namun, menurut Alfian, langkah hukum lebih lanjut harus segera diambil guna memastikan keadilan bagi para korban. “Sejak awal, kami sudah menilai bahwa tuntutan dalam kasus ini terlalu rendah.

Seharusnya hukuman bagi para terdakwa di atas 20 tahun, bukan justru lebih ringan dari tuntutan jaksa. Yang lebih parah, vonis hakim malah jauh lebih rendah lagi,” ucapnya.

Salinan ini telah tayang di https://www.ajnn.net/news/jpu-didesak-ajukan-kasasi-atas-vonis-ringan-koruptor-dana-korban-konflik/index.html.

MaTA Desak Kajati Periksa Kajari Aceh Tengah

Dalam Media |Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, mendesak Kajati Aceh untuk memeriksa Kajari Aceh Tengah terkait program pelatihan life skill yang berlangsung di Parkside Petro Gayo Hotel Takengon.

Alfian menduga kegiatan tersebut hanya modus untuk menguras dana desa yang disebut-sebut proyek milik Kajari. Pada tahap awal, 24-28 Februari 2025, sebanyak 160 peserta dari masing-masing desa di Aceh Tengah ikut dalam pelatihan yang digelar oleh Lembaga Edukasi Training Center Indonesia (ETCI), asal Sumatera Utara, sebagai pihak ketiga.

Per peserta dibebankan biaya sebesar Rp 12,5 juta bersumber dari dana desa tahun 2025. Jika ditotalkan uang untuk kegiatan tersebut mencapai Rp 2 miliar.

“Apapun kegiatannya, baik itu pelatihan atau bimbingan teknis (Bimtek) adalah sebuah modus menguras dana desa,” kata Alfian kepada AJNN, Minggu, 2 Maret 2025.

Baca Juga : Laporan Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2024

Menurut Alfian, dalam sebuah kegiatan bersumber dari dana desa yang berkaitan dengan pelatihan atau bimtek sangat berpotensi adanya keterlibatan aparat penegak hukum (APH).

Berdasarkan temuan MaTA, kata Alfian, potensi keterlibatan oknum APH dalam kegiatan pelatihan atau Bimtek bukan pola membangun kapasitas.

Baca Juga : Tujuh Instansi Vertikal di Aceh Terima Rp 308 Miliar Dana Hibah selama 2017-2024, Polisi Terbesar

“Namun, keterlibatan mereka adalah pola menguras dana desa untuk kepentingan- kepentingan para oknum-oknum APH itu sendiri,” ungkapnya. Soal adanya dugaan keterlibatan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Aceh Tengah dalam mengkoordinir kegiatan tersebut, Alfian, mendesak Plt Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Aceh untuk melakukan verifikasi.

“Plt Kajati Aceh harus melakukan proses penyelidikan dan penyidikan, apakah benar pelatihan atau bimtek ini di koordinir oleh Kajari Aceh Tengah seperti informasi yang beredar,” kata dia.

Baca Juga : MaTA Mengajak Multistakeholder Kampus Untuk Mewujudkan Tata Kelola Tambang Yang Ramah Lingkungan

Jika itu benar, kata Alfian, maka harus diberikan tindakan tegas, karena perbuatan itu merupakan bagian dari pola-pola atau modus yang sama sekali tidak dapat ditolelir. “Modus-modus seperti ini sebenarnya hampir sama terjadi seperti di daerah lain. Oleh karena itu, Plt Kajati Aceh harus segera melakukan verifikasi fakta-fakta tersebut. Apalagi informasi ini sudah beredar di kalangan masyarakat, bahwa kegiatan tersebut diindikasikan digerakan oleh Kajari Aceh Tengah,” tegas Alfian.

Disisi lain, Alfian meminta Bupati dan Wakil Bupati Aceh Tengah melalui Kesbangpol untuk mengecek status lembaga penyelenggara kegiatan tersebut bodong atau tidak. “Mengecek dalam arti apakah lembaga itu bodong atau tidak.

Karena pengalaman kami (MaTA), ada salah satu kabupaten yang kita lakukan tracking, ternyata lembaga penyelenggara kegiatan itu bodong, tidak ada alamat, alamatnya rumah orang di Tebing Tinggi,” ungkapnya.

“Kita berharap Kesbangpol untuk mengecek lembaga penyelenggara pelatihan life skill di Aceh Tengah. Dan saya pikir harus ada langkah yang tegas,” timpalnya.

Dalam sebuah kegitan, kata Alfian, tidak sepatutnya menggunakan kekuatan-kekuatan yang dapat mengintervensi desa sehingga desa terpaksa mengeluarkan biaya. Tujuannya menguras dana desa.

“Saya pikir, bupati dan wakil bupati tidak perlu takut, apakah dalam kegiatan ini ada keterlibatan APH, harus diungkapkan. Kalau tidak, tatanan dari tata kelola desa bakal dihancurkan,” tegasnya.

“Dari pengalaman yang sudah terjadi, publik juga sudah tahu siapa pemain-pemainnya. Maka, kalau misal ada potensi terlibat Kajari Aceh Tengah, saya pikir Plt Kajati harus mengusut secara tuntas. Ini orang harus dicopot jika terlibat, harus diproses,” pungkas Alfian.

Alfian meminta pelatihan life skill di Aceh Tengah untuk tahap selanjutnya harus dihentikan, karena merupakan kegiatan modus mencari keuntungan oleh pihak tertentu. “Karena ini modus ya. Tahap selanjutnya harus dihentikan. Bupati dan Wakil Bupati Aceh Tengah harus melakukan pengkajian secara mendalam, apa manfaat dari kegiatan ini. Jadi, acara-acara semacam ini seolah-olah adalah kegiatan baik, padahal ini adalah modus menguras dana desa ,” kata Alfian.***

Salinan ini telah tayang di https://www.ajnn.net/news/mata-desak-kajati-periksa-kajari-aceh-tengah/index.html

Laporan Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2024

Publikasi – Tranparency International (TI) telah merilis hasil Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang berada pada skor 34 dari penilaian 0 – 100 pada Oktober 2024.

Sementara itu, skor 34 menempatkan Indonesia di posisi ke – 109 CPI yang mana Indonesia masih berada dibawah beberapa negara di ASEAN lainnya seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina.

Maka dari itu sejatinya pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara komprehensif untuk menimalisir tingginya angka korupsi di Indonesia.

Pemantauan terhadap tren penindakan kasus korupsi di Aceh oleh MaTA pada tahun 2024, terdapat kurang lebih 31 kasus dugaan korupsi dengan jumlah 64 orang tersangka dengan total kerugian negara sebesar Rp56.865.319.017,45.

Dari pemantauan tersebut, Korupsi di Aceh merupakan salah satu persoalan yang amat serius dan terjadi di berbagai sektor pemerintahan. Hal ini dilihat dari mayoritas tersangka kasus korupsi mempunyai latar belakang jabatan yang sangat kompleks hingga menyentuh masyarakat biasa terlibat dalam perkara korupsi.

kondisi ini sangat mengkwatirkan, yang dapat mengancam keberlangsungan roda pemerintahan, sehingga perlu adanya pencegahan yang serius.

Beranjak dari situasi tersebut maka sebagai salah satu bentuk partisipan publik untuk melakukan pengawasan terhadap penanganan kasus korupsi oleh aparat penegak hukum dalam menangani kasus korupsi.

MaTA sejak tahun 2011, telah mengembangkan satu kajian khusus, yaitu pemantauan terhadap trend penindakan kasus korupsi yang diluncurkan setiap tahunnya.

Pemantauan ini bertujuan untuk memetakan beberapa isu pokok dalam kasus korupsi seperti, aktor korupsi yang terlibat, latar belakang jabatan/posisi, potensi nilai kerugian negara, modus operandi, wilayah maupun sektor-sektor yang rentan dikorupsi.

Kajian ini diharapkan akan menjadi rujukan dan bahan advokasi dalam mendorong gerakan pemberantasan korupsi di Aceh. Berikut laporan pemantauan penindakan kasus Korupsi di Aceh Tahun 2024.

Tujuh Instansi Vertikal di Aceh Terima Rp 308 Miliar Dana Hibah selama 2017-2024, Polisi Terbesar

Dalam Media |Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh mencatat, sejak tahun 2017 hingga 2024, Pemerintah Aceh telah mengucurkan sebanyak Rp 308 miliar lebih, APBA untuk tujuh lembaga vertikal.

“Pemerintah Aceh mengalokasikan belanja hibah sejak tahun 2017 hingga tahun 2024, sebesar Rp 6,4 triliun, dengan rata-rata alokasi per tahun sebesar Rp 805,9 miliar,” ujarnya. “Dari angka hibah tersebut, sebesar Rp 308,3 miliar, dikucurkan untuk tujuh instansi vertikal yang ada di Aceh,” kata Kepala Program LBH Banda Aceh, Hafidh dalam konferensi pers di Kantor MaTA, Selasa (21/1/2025).

Ada pun keenam lembaga vertikal yang menerima dana hibah tersebut yakni TNI, Polri, Kejaksaan, Badan Intelijen Negara Daerah (Binda), Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP), pengadilan, dan Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS). Menurut seluruh informasi, kajian tersebut diperoleh dari dokumen APBA dan Portal Pengadaan Pemerintah Aceh.

“Dari tujuh instansi tersebut, polisi mendapat alokasi terbanyak sebesar 37 persen dari total alokasi dana hibah. Kemudian disusul Kejaksaan Tinggi sebesar 27 persen, dan institusi TNI sebesar 26 persen,” ujarnya.

Hafidh menjelaskan, jika dikelompokkan dalam jenis peruntukkannya, paling besar dana hibah tersebut digunakan untuk pembangunan atau rehab kantor sebanyak 53 persen. Kemudian fasilitas rumah dinas sebesar 19 persen, dan untuk fasilitas olahraga sebesar 15 persen.

“Sisanya untuk belanja kendaraan dinas dan peruntukan lain-lainnya seperti pembuatan pagar, kanopi, area parkir, taman, jalan komplek perkantoran, dan lain-lain,” tuturnya.

Hafidh menilai, pengalokasian hibah untuk instansi vertikal tersebut sangat membebani keuangaan Pemerintah Aceh. Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir, Aceh masih merupakan provinsi termiskin di Sumatera. Sehingga pengalokasian dana hibah yang nominalnya cukup besar untuk lembaga vertikal tersebut tidak patut dilakukan oleh Pemerintah Aceh.

Sebab, masih sangat banyak urusan wajib Pemerintah Aceh yang belum dicapai. “Apalagi hibah untuk pemerintah pusat sangat tidak patut dilakukan oleh Pemerintah Aceh,” papar dia.

“Hal tersebut dengan tegas juga disampaikan dalam Pasal 298 ayat (4) UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yang isinya belanja hibah dan bantuan sosial dianggarkan dalam APBD sesuai dengan kemampuan keuangan daerah setelah memprioritaskan pemenuhan belanja urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan,” jelasnya.

Selain itu, jelas Hafidh, pemberian hibah untuk instansi vertikal di Aceh juga berpotensi menyalahi aturan. Hal itu merujuk pada aturan-aturan terkait hibah pemerintah daerah.

“Banyak prasyarat yang harus dipenuhi sehingga pengalokasian tersebut dianggap patut, sesuai urgensi dan kepentingan Pemerintah Aceh dalam mendukung terselenggaranya fungsi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dengan memperhatikan asas keadilan, kepatuhan, rasionalitas dan manfaat untuk masyarakat,” ungkapnya.(*)

Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com https://aceh.tribunnews.com/2025/01/21/tujuh-instansi-vertikal-di-aceh-terima-rp-308-miliar-dana-hibah-selama-2017-2024-polisi-terbesar.

MaTA Meminta Dinas Pendidikan Aceh Untuk Tidak Membayar Tunggakan Pengadaan Alat Peraga dan Praktik Sekolah Mobiler Tahun 2019

Siaran Pers |Berdasarkan analisis dokument yang kami lakukan, pengadaan alat peraga dan praktik sekolah (mobile/meubelair) Tahun Anggaran 2019 yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Aceh pada saat itu diduga sarat bermasalah.

Pengadaan tersebut diketahui bersumber dari APBA Perubahan 2019 dan dilaksanakan oleh empat penyedia, yaitu PT. Astra Graphia Xprins Indonesia, PT. Karya Mitra Seraya, PT. Apsara Tiyasa Sambada, dan PT. Tri Kreasindo Mandiri Sentosa. kami saat itu sudah pernah mengingatkan pemerintah aceh paket tersebut tidak bisa di bayar sebelum ada audit atas pengadaan tersebut mengingat paket tersebut ada akibat terjadi konflik kepentingan dilevel Gubernur saat itu.

kemudian Pada tahun 2020, Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Rahmat Fitri, mengajukan permohonan kepada Sekda Aceh terkait tunggakan pembayaran pekerjaan pengadaan yang jumlahnya mencapai Rp 95.347.907.960. Saat itu, Kadis Pendidikan meminta agar tunggakan tersebut segera dibayarkan, kemungkinan kuat Kadis pendidikan saat itu mendapatkan tekanan dari Gubernur saat itu.

Fakta lainnya, Berdasarkan Pergub Nomor 38 Tahun 2020 yang mengatur perubahan atas Peraturan Gubernur Aceh Nomor 80 Tahun 2019 tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun Anggaran 2020 (refocusing), terdapat peningkatan signifikan pada belanja modal untuk pengadaan alat peraga atau praktik sekolah.

Dalam APBA 2020 semula hanya dialokasikan Rp 1,2 miliar, namun pada penjabaran APBA Perubahan 2020 jumlahnya meningkat menjadi Rp 103,7 miliar. Penambahan anggaran ini diduga kuat akan digunakan untuk membayar paket pekerjaan yang tidak selesai tepat waktu. Namun pada saat itu tunggakan ini batal dibayarkan.

Selanjutnya Berdasarkan surat permohonan pembayaran dari PT.Tri Kreasindo Mandiri Sentosa kepada Kepala Dinas Pendidikan Aceh, tertanggal 21 Juni 2024, dengan nomor 0001/SPPP/TMS/II/2024. Dalam surat tersebut, PT.Tri Kreasindo Mandiri Sentosa mengklaim telah menyelesaikan beberapa paket pekerjaan.

Total nilai kontrak dari seluruh paket pekerjaan tersebut mencapai Rp33.789.498.000, namun pembayaran belum dilakukan hingga akhir 2019, diantaranya, (1)Pengadaan alat media publikasi dan sosialisasi informasi digital SMA, (2)Pengadaan alat media pembelajaran multimedia interaktif SMA, (3)Pengadaan alat media pembelajaran multimedia interaktif SMK, (4)Pengadaan server UNBK SMA/SMK.

MaTA menduga bahwa meskipun pekerjaan tersebut belum selesai tepat waktu pada saat itu, Dinas Pendidikan Aceh berencana tetap membayar kepada penyedia. Dugaan ini diperkuat oleh Laporan Review Inspektorat Aceh. Berdasarkan laporan review Inspektorat Aceh Nomor 700/034/LHR/1A-IV/2024 tertanggal 27 Mei 2024, sisa pembayaran sebesar Rp44.392.816.036 yang di dalamnya sudah termasuk nilai pokok dan bunga (Rp.10.603.318.036).

Diduga hasil review ini akan digunakan untuk membayar pekerjaan yang tidak selesai tepat waktu tersebut. Dalam hal ini, MaTA juga mempertanyakan motif Inspektorat dalam melakukan review, seharusnya mareka melakukan audit terlebih dahulu dan akibat kebijakan inspektorat dapat merugikan keuangan Aceh terhadap pengadaan alat peraga dan praktik sekolah tahun 2019 yang tidak semata-mata untuk dapat dilakukan pembayaran, harusnya Inspektorat juga dapat melakukan review temuan-temuan lainnya untuk direkomendasikan.

Dari sisi yang lain MaTA menduga penagihan pembayaran tunggakan ini terindikasi konflik kepentingan di pucuk pimpinan tingkat eselon II pemerintah Aceh. Sehingga para geng eselon II tersebut meyakinkan Pj Gub untuk membayar.

Padahal sesuai dengan ketentuan dalam Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa serta Peraturan LKPP No. 9 Tahun 2018, Dinas Pendidikan Aceh seharusnya tidak melakukan pembayaran kepada penyedia yang gagal menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu.

Sebagaimana diketahui pengadaan tersebut tidak selesai dikerjakan pada waktu yang sudah ditentukan. Kepala Dinas Pendidikan Aceh saat itu, Rachmat Fitri, mengakui bahwa banyak paket pekerjaan meubelair yang belum selesai hingga Desember 2019.

Rahmat Fitri juga menyatakan tidak akan melakukan pembayaran kepada penyedia yang tidak menyelesaikan pekerjaan hingga akhir desember 2019 lalu. Pernyataan tersebut termuat dalam beberapa media di Aceh pada bulan Februari 2020.

oleh karna itu, MaTA memintak kepada Pj Gub untuk memastikan tidak ada pembayaran atas pengadaan tersebut, kebijakan tersebut sepertinya sudah direncanakan oleh pihak yang merasa ini lahan pendapat bagi oknum bermental korup.

Kemudian kepada kepala Dinas Pendidikan Aceh untuk Tidak melakukan pembayaran kepada penyedia yang tidak memenuhi kewajibannya hingga masa kontrak berakhir dan kami memintak secara tegas untuk ada audit investigasi atas pengadaan tersebut sehingga pemerintah Aceh memiliki tata kelola atas kebijakan anggaran dan dapat berpedoman pada peraturan yang melarang pembayaran atas pekerjaan yang melewati tahun anggaran.

MaTA mendesak Kejati Aceh untuk dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan atas motif reviuw oleh Inspektorat Aceh sehingga anggaran tersebut harus di bayar. sehingga ada kepastian hukum atas rencana atau niat tersebut.

Saat ini, MaTA menilai jajaran pemerintah Aceh masih sangat rawan atas potensi potensi korupsi yang terjadi dan ini menjadi catatan penting untuk Gubernur terpilih nantinya untuk dalam membersihkan birokrasi yang korup, sehingga pembangunan Aceh kedepan lebih efektif dan berkualitas.

Banda Aceh, 05/01/2025
Ttd,
Alfian
Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA)

MaTA : Mempertanyakan Komitmen Review dan Probity Audit Oleh Inspektorat Aceh Dengan KPK

Siaran Pers – Masyarakat Transparansi Aceh mempertanyakan komitmen Review dan Probity Audit Oleh Inspektorat Aceh dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Koordinator MaTA menyampaikan, Berdasarkan analisis dokumen atas nama pimpinan melalui Deputi Bidang Koordinasi dan supervisi, Komisi Pemberantasan Korupsi, telah dilakukan pembahasan dan koordinasi atas 33 (tiga puluh tiga) paket pengadaan barang dan jasa proyek strategis Aceh dengan SK Gubernur Nomor 600/728/2024.

Kesepakatan atas pendalaman BPJ tersebut di lakukan pada hari Rabu – Kamis (7- 8 Agustus 2024 antara Pemerintah Aceh dan KPK) sehingga lahir kesepakatan untuk dilakukan review oleh Inspektorat Aceh selaku Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), kata Alfian senin (4/11/2024).

Berdasarkan Kesepakatan tersebut, Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi, Komisi Pemberantasan Korupsi dengar nomor : B/6518/KSP/.00/70-72/10/2024 dengan perihal: Segera untuk menyerahkan penyampaian hasil Pembahasan atas Pendalaman Pengadaan Barang dan Jasa Proyek Strategis Pemerintah Aceh pada tanggal 08 Oktober 2024.

“Jadi kalau kita pelajari dan analisa atas permintaan KPK tersebut, menagih atas apa yang telah disepakati sebelumnya (7 – 8 Agustus 2024). Dimana Inspektorat Aceh belum menyerahkan hasil review atas proyek strategis”, ujarnya.

Pertama, Hasil Review terhadap sanggahan dan sanggah banding pada proyek revitalisasi cagar budaya Pembangunan Sarana dan Prasarana Situs Sejarah Makam Habib Bugak di Kab Bireuen.

Kedua, Review atas revitalisasi UPTD PLUT KUMKM Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah Aceh.

Ketiga, Review atas revitalisasi perencanaan proyek pembanguan bungker dan penunjang lainya di Rumah Sakit Zainal Abidin.

Keempat, Hasil probity audit terhadap 5 proyek strategis daerah dari perencanaan,persiapan, pemilihan penyedia, pelaksanaan kontrak dan serah terima pekerjaan.

Kelima, Review atas revitalisasi terhadap 25 proyek strategis pada kontrak dan memastikan terhadap tahapan proses pengadaan berjalan.

Berdasarkan catatan di atas, MaTA mempertanyakan komitmen Inspektorat Aceh atas review dan probity audit yang telah disepakati dengan KPK untuk dilakukannya.

Mengingat sudah 62 hari sejak kesepakatan belum ada penyampaian hasil dan KPK menagih atas kesepakatan tersebut. MaTA sangat mengkhawatirkan atas kesepakatan tersebut, Inspektorat Aceh sangat berpeluang melakukan hasil kesepakatan tersebut dapat mengkaburkan hasilnya, tidak sesuai fakta pada proyek daerah tersebut.

Mengingat ke 33 proyek tersebut dalam tahapan pekerjaan. MaTA meminta kepada Pj Gubernur Aceh untuk mengawasi hasil reviuw dan audit oleh Inspektorat aceh sehingga tidak tidak terjadi manipulasi dan bermasalah hukum dikemudian hari.

MaTA sendiri tetap melakukan koordinasi dengan KPK atas penagihan review dan audit tersebut kepada pemerintah Aceh melalui inspektorat Aceh. sehingga sistem perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan sektor pengadaan barang dan jasa di aceh bebas dari korupsi.

Banda Aceh, 04 November 2024
Ttd,
Alfian
Koordinator
Masyarakat Transparansi Aceh

Catatan Kritis Atas Tindak Pidana Korupsi BRA

Siaran Pers – Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh untuk mengusut tuntas aliran dana dugaan korupsi di Badan Reintegrasi Aceh (BRA).

Tindak pidana korupsi itu terkait pengadaan budidaya ikan kakap dan pakan rucah untuk masyarakat korban konflik pada Badan Reintegrasi Aceh (BRA) Tahun 2023 di Kabupaten Aceh Timur yang bersumber dari APBA Perubahan.

Pertama MaTA mendukung penuh langkah penegakan hukum yang sedang berlangsung atas tindak pidana korupsi di BRA oleh Kejari Aceh, penegakah hukum menjadi penting demi rasa keadilan publik dan kepastian hukum.

Kedua MaTA menilai, kasus tindak pidana korupsi di tubuh BRA tidak berdiri pada lima orang tersangka yang sudah ditahan, apa lagi dengan total los atas kerugian yang terjadi sehingga proses lidik atas penelusuran p dana hasil korupsi perlu untuk di perhatikan.

sehingga siapa pun yang menerima aliran dana hasil kejahatan luar biasa tersebut dapat diungkap.

Ketiga Penahanan atas ke lima tersangka menjadi jawaban kepada publik yang selama ini memberi atensi atas kasus yang di maksud, kasus tersebut menjadi atensi publik dan langkah penahanan yang telah dilakukan oleh Kejati patut mendapat dukungan.

Keempat MaTA konsisten mengawal atas kasus tersebut, Aceh harus bebas dari korupsi dan ini menjadi pondasi menuju Aceh maju.

Mengulik Korupsi Lewat Kolaborasi

Kegiatan MaTA – Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menggelar diskusi publik untuk penguatan Klub Jurnalis Investigasi (KJI) Aceh dalam meliput isu korupsi dari berbagai sektor, sekaligus membedah hasil liputan investigasi di Aceh sebelumnya. Kegiatan itu berlangsung di salah satu cafee, di kawasan Kota Banda Aceh, Jumat (27/9).

Dua tulisan menjadi pemantik pada diskusi bertema “Peran Jurnalis, Masyarakat dan Mahasiswa dalam Mengawasi Proyek Infratruktur di Aceh” yang dipimpin oleh Koordinator Divisi Kampanye Publik ICW, Tibiko Zabar Pradano, yaitu pembangunan jembatan di Blang Mane Bireuen dan pembangunan Rumah Sakit Regional di Meulaboh, Aceh Barat.

Kedua tulisan itu merupakan hasil liputan kolaborasi KJI Aceh yang baru-baru ini telah tayang di beberapa media online lokal Aceh. Turut hadir dalam diskusi tersebut antara lain Koordinator MaTA, Alfian, jurnalis yang tergabung dalam KJI Aceh, sejumlah mahasiswa, perwakilan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh dan perwakilan CSO.

Tibiko Zabar Pradono mengatakan, berdasarkan data ICW, trend korupsi di Indonesia terus terjadi bahkan semakin meningkat. Untuk itu peran jurnalis, masyarakat, dan mahasiswa sangat diharapkan dalam mengawasi berbagai sektor proyek, baik skala nasional maupun lokal.

Menurutnya, hasil investigasi yang telah dan sedang dilakukan oleh KJI Aceh, salah satu bukti bahwa korupsi pada sejumlah proyek infratruktur di Aceh masih masif terjadi.

Ada proyek yang telah menghabiskan hingga ratusan miliar, tetapi fisiknya tidak seimbang dengan anggaran, dan ada pula proyek yang dikerjakan oleh perusahaan masuk dalam daftar blacklist (daftar hitam). “Ini menggambarkan bahwa trend-trend korupsi pada pembangunan infrastruktur masih terus berjalan secara masif.

Ini adalah tugas kita besama untuk membongkar kejahatan pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari anggaran negara untuk fasilitas publik tersebut,” tegas Tibiko. Proyek ratusan miliar dimaksud Tibiko, yakni pembangunan Rumah Sakit Regional Aceh di Meulaboh, Aceh Barat.

Hasil investigasi KJI terungkap, proyek multiyears itu telah menghabiskan anggaran lebih Rp332 miliar, tetapi kondisi bangunannya sangat memprihatinkan. Sedangkan perusahaan ‘daftar hitam’ terjadi pada pembangunan jembatan Blang Mane, Kabupaten Bireuen. Proyek beranggaran Rp19 miliar itu dikerjakan oleh PT Sarjis Agung Indrajaya.

Hasil investigasi KJI, diketahui perusahaan itu tercatat sebagai salah satu perusahaan daftar hitam dan dilarang ikut serta dalam proyek pemerintah. Anehnya di Aceh, perusahaan tersebut justru memenangkan tender.

“Temuan ini adalah fakta konkrit yang mengharuskan kita semua untuk terus mengawasi proyek apapun yang akan dan sedang dibangun pemerintah. Kita berharap liputan investigasi secara kolaborasi ini dapat terus berjalan sesuai peran kita masing-masing,” tambah Tibiko.

Senada dengan Tibiko juga disampaikan Koordinator MaTA, Alfian. Menurutnya korupsi pada proyek pembangunan infrastruktur di Aceh bukan hanya terjadi pada dua proyek itu saja, tetapi masif di banyak proyek barang dan jasa yang ada di Aceh. “Bagaimana kasus wastafel yang sekarang sedang bergulir di PN Tipikor Banda Aceh, proyek Rumah Sakit Regional Aceh di Takengon, Aceh Selatan, Bireuen dan Langsa.

Belum lagi sejumlah proyek pengadaan barang dan jasa lainnya. Melalui kolaborasi ini kita berharap bisa mengungkap satu-persatu, termasuk manajemen fee para petinggi yang seolah seperti bukan rahasia umum lagi,” ujar Alfian. яндекс

Fitri Juliana dan Irma Hafni dari KJI Aceh turut menyampaikan temuan mereka, hambatan serta tantangan ketika meliput di lapangan. Namun, menurut keduanya, investigasi secara kolaborasi sangat memudahkan baik untuk observasi pada objek tulisan maupun dalam memperoleh data.

“Investigasi tentu saja memiliki hambatan dan tantangan, namun dengan kolaborasi akan lebih memudahkan, salah satunya ada teman diskusi ketika mendapat hambatan dan tantangan itu sendiri,” ujar Fitri dan Ihan yang juga anggota AJI Banda Aceh.

Kolaborasi dalam peliputan investigasi isu dugaan korupsi sebagaimana yang telah dilakukan oleh KJI, MaTA dan ICW bersama sejumlah CSO tersebut, juga dikemukakan oleh Adi Warsidi dan Juli Amin. “Namun perlu dilakukan penguatan-penguatan sehingga kolaborasi yang sudah berjalan akan lebih terarah dan terfokus,” kata kedua pengurus nasional AJI tersebut.

Salinan ini telah tayang di https://www.habaaceh.id/news/mengulik-korupsi-lewat-kolaborasi/index.html.

MaTA Mengajak Multistakeholder Kampus Untuk Mewujudkan Tata Kelola Tambang Yang Ramah Lingkungan

MaTA – MaTA bekerjasama dengan PATTIRO dengan dukungan FORD Foundation dan persetujuan dari Bagian Perencanaan Setditjen Bina Bangda, untuk bekerjasama dengan Subdit Sosial dan Budaya Direktorat SUPD III melalui, Program Pengembangan Inovasi Penanggulangan Kemiskinan menyelenggarakan “Diskusi Mendorong Peran Kampus Mewujudkan Penghidupan Masyarakat Secara Berkelanjutan Melalui Optimalisasi Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Alam Tambang di Kabupaten Aceh Barat”, Meulaboh, Sabtu(24/8/24).

MaTA memaparkan Potensi sumber daya alam (SDA) Indonesia melimpah, salah satunya adalah mineral batu bara yang banyak ditemukan di Kalimantan, Sumatera dan pulau lainnya. Di Provinsi Aceh, Aceh Barat merupakan salah satu kabupaten yang memiliki potensi batu bara terbesar dari 3 kabupaten lainnya yaitu 350,90 juta ton. Selanjutnya Nagan Raya memiliki 90,10 juta ton, Aceh Jaya 24 juta ton dan Aceh Singkil 11,80 ton.

Aktifitas penambangan batu bara di kabupaten Aceh Barat telah meningkatkan nilai penerimaan Dana Bagi Hasil SDA minerba setiap tahunnya. Pada periode 2021-2023 penerimaan DBH SDA minerba mencapai Rp. 141.773.750.000 (seratus empat puluh satu milyar tujuh ratus tujuh puluh tiga juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).

Dengan rincian tahun 2021 sebesar Rp. 22.366.967.000, meningkat menjadi Rp.28.781.161.000 pada tahun 2022 dan Rp. 90.625.622.000 pada tahun 2023 Berdasarkan Dinas ESDM Aceh , terdapat 7 IUP dengan komoditas batu bara dan 2 IUP dengan komoditas emas di Aceh Barat.

Aktifitas pertambangan melahirkan persepsi positif bagi baik pemerintah maupun masyarakat karena selain berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan negara juga menampung banyak tenaga kerja. Warga desa ring satu mendapat prioritas diterima sebagai pekerja sesuai dengan kebutuhan dan keahliannya. Belum lagi besarnya dukungan CSR kepada desa dan warga sekitar tambang, benar-benar menjadikan tambang sebagai primadona.

Sebagai contoh di Aceh Barat, sejak tahun 2023, PT Mifa Bersaudara yang bergerak di tambang batu bara mengalokasikan CSR setara Dana Desa khusus untuk desa ring satu dan kepada desa ring berikutnya dengan jumlah bervariasi tergantung dampak yang diterima. Pemerintah desa diberikan kewenangan menentukan program dan kegiatan sesuai kebutuhan namun pelaksanaanya dilakukan oleh vendor yang ditunjuk oleh perusahaan.

Namun demikian keberadaan tambang juga menimbulkan dampak negatif seperti kerusakan lingkungan, rusaknya struktur tanah, rusaknya budaya masyarakat, pelanggaran hak asasi manusia, konflik antar warga dan perusahaan, KKN dan lainnya. Selain itu angka kemiskinan di kabupaten keberadaan tambang juga masih tinggi meskipun terus berkurang setiap tahunnya.

BPS mencatat, persentase penduduk miskin Aceh Barat tahun 2024 adalah 17, 60 persen. Sedangkan tahun 2023 17,86 persen dan tahun 2022 sebesar 17,93 persen. Kantong-kantong kemiskinan tersebar hampir di semua kecamatan, hal tersebut dapat dilihat dari lokasi prioritas wilayah penanggulangan kemiskinan tingkat kabupaten berdasarkan bidang pembangunan desa, bidang pendidikan, bidang kesehatan, serta bidang perumahan dan pemukiman.

Bahkan untuk penanggulangan kemiskinan ekstrem, TKPK Aceh Barat memutuskan 4.784 rumah tangga yang masuk desil 1. Dari seluruh kecamatan yang berasal dari desil 1, kecamatan Kawai XVI, Panton Reu, Meureubo dan Arongan Lambalek menjadi kecamatan dengan wilayah prioritas 1.

Selanjutnya kecamatan Woyla, Pante Ceureumen, Woyla Barat dan Bubon masuk lokasi prioritas 2, serta kecamatan Johan Pahlawan, Woyla Timur, Samatiga, Sunga Mas, merupakan kecamatan wilayah prioritas 3. Seperti diketahui kecamatan Meureubo yang masuk desil 1 merupakan lokasi dimana beberapa perusahaan tambang batu bara sedang berproduksi.

Sebagai sumber daya alam yang tak dapat diperbaharui, minerba dan tambang lainnya tentu akan habis pada waktunya. Semua aktifitas tambang akan berhenti lalu bagaimana keberlanjutan kehidupan warga sekitar ketika dan paska tambang? Bagaimana pula dengan pemulihan fungsi lingkungan dan fungsi sosial di seluruh wilayah bekas tambang? Kehidupan berkelanjutan tidaklah semata tentang upaya untuk peningkatan pendapatan masyarakat yang saat ini barangkali diuntungkan dengan keberadaan tambang.

Ketika paradigma pembangunan masih menggunakan pendapatan per kapita dan peningkatan produksi sebagai tolak ukur pada tataran makro, upaya-upaya pembangunan pada tataran mikro yang dilakukan adalah meningkatkan produksi dan pendapatan masyarakat atau dikenal dengan kegiatan income-generating.

Perubahan paradigma pembangunan juga mengubah terminologi pembangunan yang digunakan untuk mengukur perkembangan di tingkat makro dan kegiatan pada tataran mikro. Kegiatan pembangunan mulai mengedepankan prinsip-prinsip keberlanjutan dan partisipasi masyarakat.

Kegiatan income generating dianggap sudah tak lagi memadai untuk menggambarkan kegiatan-kegiatan pembangunan yang berdimensi luas di tataran mikro. Sebagai alternatifnya, diperkenalkanlah istilah sustainable livelihood. Pengertian livelihood jauh lebih luas dari sekadar kegiatan mata pencaharian untuk meningkatkan pendapatan.

Livelihood adalah means of living atau semua upaya untuk membangun penghidupan. Upaya-upaya itu tidak semata-mata untuk meningkatkan pendapatan, karena pada dasarnya tujuan hidup manusia sangat luas: rasa aman, kesehatan, rasa diterima, dan sebagainya. Jadi, istilah livelihood tidak lagi terbatas sebagai mata pencaharian atau pekerjaan seperti terdapat dalam kamus Bahasa Inggris–Indonesia, tapi semua upaya untuk penghidupan.

Dalam forum ini MaTA menyerukan, pentingnya untuk menyamakan persepsi serta arah advokasi yang sama dengan multistakeholder terutama kampus untuk mewujudkan tata kelola tambang yang ramah lingkungan, tata kelola benefid sharing yang berkeadilan serta penyusunan program pembangunan yang berkelanjutan.

MaTA Gelar Diskusi Bersama Kelompok Perempuan Wilayah Tambang

MaTA – Aktifitas pertambangan melahirkan persepsi positif baik bagi pemerintah maupun masyarakat karena selain berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan negara juga menampung banyak tenaga kerja.

Di kabupaten Aceh Barat misalnya, PT Mifa Bersaudara yang beraktifitas di bidang tambang batu bara di kecamatan Meureubo, memberikan prioritas kerja kepada warga di 8 desa ring satu sesuai dengan kebutuhan dan keahliannya. Pada saat yang sama desa tersebut juga mendapatkan alokasi CSR setara dana desa sejak tahun 2023.

Sementara 22 desa lainnya di kecamatan Meureubo juga mendapatkan CSR dengan nilai bervariasi tergantung jarak dan dampak yang diterima dari keberadaan dan aktifitas tambang. Pemerintah desa diberikan kewenangan menentukan program dan kegiatan sesuai kebutuhan namun pelaksanaanya dilakukan oleh vendor yang ditunjuk oleh perusahaan.

Dibalik manfaat besar yang diterima, keberadaan tambang juga menimbulkan dampak negatif seperti kerusakan lingkungan, kerusakanan struktur tanah, rusaknya budaya masyarakat, pelanggaran hak asasi manusia, konflik dan sebagainya. Sebagaimana diketahui minerba merupakan sumber daya alam yang tak dapat diperbaharui dimana akan habis pada waktunya.

Ketika semua aktifitas tambang berhenti lalu bagaimana keberlanjutan kehidupan warga sekitar? Bagaimana pula dengan pemulihan fungsi lingkungan dan fungsi sosial di seluruh wilayah paska tambang? Kehidupan masyarakat tidaklah semata tentang peningkatan pendapatan masyarakat yang saat ini barangkali diuntungkan dengan keberadaan tambang.

Perlu ada perubahan paradigma dimana pembangunan perlu mengedepankan prinsip-prinsip keberlanjutan dan partisipasi masyarakat. Kegiatan income generating dianggap sudah tak lagi memadai untuk menggambarkan kegiatan-kegiatan pembangunan yang berdimensi luas di tataran mikro.

Sebagai alternatifnya, diperkenalkanlah istilah sustainable livelihood. Pengertian livelihood jauh lebih luas dari sekadar kegiatan mata pencaharian untuk meningkatkan pendapatan. Livelihood adalah means of living atau semua upaya untuk membangun penghidupan. Upaya-upaya itu tidak semata-mata untuk meningkatkan pendapatan, karena pada dasarnya tujuan hidup manusia sangat luas: rasa aman, kesehatan, rasa diterima, dan sebagainya.

Berdasarkan gambaran di atas maka penting untuk menyamakan persepsi dan meningkatnya pemahaman masyarakat sekitar tambang terutama kaum perempuan sehingga ditemukan arah advokasi yang sama untuk mewujudkan pembangunan desa dengan pendekatan pembangunan yang berkelanjutan.

Sehubungan dengan itu maka MaTA bekerjasama dengan PATTIRO dengan dukungan FORD Foundation dan persetujuan dari Bagian Perencanaan Setditjen Bina Bangda untuk bekerjasama dengan Subdit Sosial dan Budaya Direktorat SUPD III melalui Program Pengembangan Inovasi Penanggulangan Kemiskinan menyelenggarakan “Diskusi Peran Perempuan Untuk Mewujudkan Pembangunan Desa Dengan Pendekatan Penghidupan Yang Berkelanjutan di Wilayah Tambang”.

Meulaboh, 25 Agustus 2024

MaTA-PATTIRO Berkolaborasi dalam Mengadvokasi Penerapan Konsep Benefit Sharing ADD-DBH SDA di Kab. Aceh Barat

Kegiatan MaTA |Kemiskinan di Indonesia tetap menjadi tantangan signifikan meskipun telah terjadi penurunan yang cukup besar dalam beberapa dekade terakhir.

Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, Indonesia menghadapi kompleksitas masalah kemiskinan yang mencakup ketimpangan regional, urbanisasi yang cepat, serta distribusi akses yang tidak merata terhadap sumber daya dan layanan publik.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin pada Maret 2023 mencapai 25,90 juta orang, menurun sebesar 0,46 juta orang dibandingkan Maret 2022, dengan penurunan sebesar 0,26 juta orang.

Namun, penurunan ini tidak merata di seluruh wilayah, terutama di daerah terpencil dan pedesaan, di mana angka kemiskinan masih tetap tinggi, dengan sebagian besar penduduk hidup di bawah garis kemiskinan nasional.

Ketidakstabilan ekonomi global, dampak perubahan iklim, dan pandemi COVID-19 telah memperburuk situasi ini, mempengaruhi mata pencaharian jutaan warga Indonesia.

Dalam konteks ini, upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia memerlukan pendekatan yang lebih inovatif dan komprehensif, yang tidak hanya berfokus pada peningkatan pendapatan, tetapi juga pada pemberdayaan masyarakat dan peningkatan akses terhadap layanan dasar.

Kemiskinan di Kab. Aceh Barat merupakan masalah serius meskipun wilayah tersebut memiliki potensi yang cukup besar. Kekayaan alam berupa sumber daya tanah, air, hutan, dan tambang di Kab. Aceh Barat membuktikan bahwa wilayah ini memiliki potensi pembangunan yang memadai.

Namun, hambatan terbesar terletak pada mekanisme struktural dalam penentuan kebijakan, desain program pembangunan, dan metode implementasi program-program tersebut.

Jika permasalahan struktural ini tidak segera diatasi, maka tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat Kab. Aceh Barat dapat semakin sulit dicapai. Data dari BPS (2022, 2023) menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Kab. Aceh Barat, dengan angka kemiskinan sebesar 17,93% pada tahun 2022, dibandingkan dengan 17,86% pada tahun 2023.
Kabupaten Aceh Barat, meskipun memiliki potensi alam yang besar, dengan luas kawasan hutan mencapai 110.490 hektar.

Potensi pertambangan emas, dan batubara yang signifikan di Kab. Aceh Barat tidak serta merta membawa kesejahteraan bagi masyarakatnya, terutama di desa-desa yang berada di lokasi pertambangan yang seringkali terabaikan.

Pengalokasian Alokasi Dana Desa (ADD) di Kab. Aceh Barat saat ini masih didasarkan pada kebutuhan gaji perangkat desa dan beberapa indikator lain seperti jumlah penduduk, tingkat kemiskinan, luas wilayah, dan kondisi geografis desa, yang belum sepenuhnya memberikan manfaat proporsional kepada desa-desa penghasil sumber daya alam.

MaTA bersama Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) mengadvokasi penerapan konsep benefit sharing melalui Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA) untuk mendukung pengentasan kemiskinan di Kab. Aceh Barat.

Upaya ini mencakup pelatihan bagi Tim TKPK Kab. Aceh Barat untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam reformulasi skema ADD agar lebih berpihak pada desa-desa penghasil dan terdampak aktivitas pertambangan.

Berdasarkan analisis kebijakan eksisting, program-program pengentasan kemiskinan di Kab. Aceh Barat belum terkoordinasi dengan baik dalam suatu rencana aksi yang terintegrasi lintas sektor dan bidang OPD, sehingga diperlukan keterlibatan multi stakeholder untuk menyusun aksi bersama yang lebih efektif.

Dalam skema penetapan ADD di Kab. Aceh Barat, formula ADD minimal dan ADD proporsional yang digunakan menunjukkan bahwa metode ini lebih menitikberatkan pada aspek pemerataan, sehingga tidak terdapat klaster desa atau pencilan.

Namun, berdasarkan simulasi, besaran ADD yang diterima masih belum mencukupi untuk memenuhi anggaran penghasilan tetap dan tunjangan kepala desa, sekretaris desa, dan perangkat lainnya. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan besaran ADD dengan menaikkan persentase dari DAU dan DBH menjadi 12%.

Selain itu, untuk desa-desa terdampak penambangan, diberikan ADD khusus Minerba yang dihitung secara proporsional berdasarkan kategori dampak sosio-ekologis yang diterima.

Rekomendasi ini menekankan pentingnya peningkatan alokasi ADD dan penerapan ADD khusus bagi desa-desa terdampak, sebagai langkah strategis dalam percepatan pengentasan kemiskinan di Kab. Aceh Barat.

Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan alokasi dana untuk program-program yang tepat sasaran dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di desa-desa yang memiliki potensi sumber daya alam namun masih terpinggirkan.

salinan serupa ini sebelumnya telah tayang di https://akar.or.id/soroti-kemiskinan-akar-pattiro-berkolaborasi-dalam-mengadvokasi-penerapan-konsep/

Alfian: Kejari Diminta Tak Kecut Periksa Anggota DPRK Sabang

Berita |Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, meminta Kejaksaan Negeri Sabang memeriksa semua orang yang diduga terlibat dalam korupsi penyertaan modal di PT Pembangunan Sabang Mandiri (PSM).

Alfian meyakini kejahatan itu dilakukan oleh banyak pihak. “Kejaksaan jangan hanya menjerat orang-orang rendahan. Ini adalah kejahatan serius. Banyak aktor yang merupakan orang-orang berpengaruh terlibat.

Kami minta kejaksaan menuntaskan pemeriksaan hingga ke akarnya. Jangan kecut,” kata Alfian, Ahad, 28 Juli 2024. Alfian juga mengingatkan kejaksaan untuk tidak terpengaruh oleh kekuasaan atau iming-iming yang mungkin ditawarkan oleh pihak-pihak yang diduga terlibat.

Termasuk para politikus yang saat ini menjabat sebagai DPRK Sabang. Alfian mengatakan tidak pantas negara kalah dengan penjahat.

Baca Juga : MaTA Desak Jaksa Selidiki Aktor Utama Dugaan Korupsi Penyertaan Modal PT PSM

Kekalahan itu hanya terjadi jika kejaksaan takluk oleh pengaruh orang-orang tertentu yang berupaya menghindari jerat hukum.

Baca Juga : KPA Tak Pantas Minta Kejaksaan Tunda Penanganan Dugaan Korupsi di BRA

“Kalau ini terjadi, berarti kejaksaan ikut menjadi bagian dari kejahatan ini,” kata Alfian. Alfian juga mendorong pemeriksaan dilakukan sesuai jadwal dalam surat pemanggilan untuk anggota DPRK.

Dia mengatakan bahwa publik mengawasi kasus ini dan tidak ragu bersuara agar kejaksaan berjalan di rel yang benar. Rencananya, Kejari Sabang memeriksa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Sabang, Selasa, 30 Juli 2024.

Adapun anggota parlemen itu yang diperiksa berjumlah 14 orang. Untuk pemeriksaan ini, kejaksaan telah mengantongi izin dari penjabat Gubernur Aceh.

Salinan ini telah tayang di https://www.ajnn.net/.https://www.ajnn.net/news/alfian-kejari-diminta-tak-kecut-periksa-anggota-dprk-sabang/index.html

KPA Tak Pantas Minta Kejaksaan Tunda Penanganan Dugaan Korupsi di BRA

Berita |Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, menyayangkan pernyataan Ketua Komite Peralihan Aceh Wilayah Kuta Pase, Mukhtar Hanafiah alias Ableh.

Alfian mengatakan pernyataan itu tidak menggambarkan perjuangan para Combatan Gerakan Aceh Merdeka. “Jadi, saya pikir tidak patut bagi KPA dan Gerakan Aceh Merdeka untuk membela para koruptor di Aceh,” kata Alfian kepada AJNN, Selasa 16 Juli 2024.

Kemarin, Ableh mengatakan perkara hukum yang membebat Badan Reintegrasi Aceh berpotensi menjadi ancaman serius pada penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Aceh.

Dia meminta kejaksaan menunda penanganan perkara ini sampai Pilkada 2024 usai. Ableh juga memperkirakan perkara ini bakal menyeret sejumlah oknum dari Komite Peralihan Aceh (KPA) serta mantan Combatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Termasuk dugaan keterlibatan Ketua BRA. Alfian mengingatkan penanganan perkara korupsi tidak akan mengganggu Pemilihan Kepala Daerah 2024. Bahkan Alfian mengatakan seharusnya semua upaya pemberantasan korupsi harus didukung untuk menjamin kesejahteraan Aceh.

Baca Juga : MaTA Desak Jaksa Selidiki Aktor Utama Dugaan Korupsi Penyertaan Modal PT PSM

Praktik korupsi yang semakin telanjang di Aceh, kata Alfian, sangat tidak relevan dengan semangat perjuangan Gerakan Aceh Merdeka. Sehingga, kata dia, keburukan yang dilakukan ini menghambat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

Baca Juga : Kejati Didesak Usut Temuan Kerugian Negara di KONI Aceh

Alfian juga mengingatkan bahwa roh perjuangan KPA adalah membangun kesejahteraan masyarakat. Seharusnya, kata dia, seluruh Combatan GAM meminta dan mendorong aparat penegak hukum untuk menuntaskan perkara dugaan korupsi yang mengancam masa depan anak-anak Aceh, anak Combatan, para syuhada GAM, dan bangsa Aceh.

“Kalau ini terus disuarakan oleh wilayah-wilayah lain. Ini akan menghilangkan nilai perjuangan GAM,” kata Alfian.

Alfian menegaskan bahwa dugaan korupsi di BRA merupakan kejahatan yang sangat besar. Langkah-langkah Kejaksaan Tinggi Aceh dalam mengusut perkara ini harus didukung, bukan sebaliknya.

Alfian juga meminta Kejaksaan Tinggi Aceh untuk segera menyelesaikan kasus korupsi ini. Terutama mengungkap aktor utama yang memungkinkan uang Rp 15,7 miliar ditarik secara tunai tanpa bukti konkret.

“Kejahatan ini didesain sejak perencanaan. Jadi kejaksaan.tidak perlu ragu bertindak. Kami mendukung penuh upaya kejaksaan,” ujar Alfian

Salinan ini telah tayang di https://www.ajnn.net/news/kpa-tak-pantas-minta-kejaksaan-tunda-penanganan-dugaan-korupsi-di-bra/index.html

MaTA Desak Jaksa Selidiki Aktor Utama Dugaan Korupsi Penyertaan Modal PT PSM

Berita |Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian, mendesak Kejaksaan Negeri (Kejari) Sabang menyelidiki aktor utama dugaan tindak pidana korupsi penyertaan modal PT Pembangunan Sabang Mandiri (PSM) tahun anggaran 2022.

Permintaan tersebut, berkaitan dengan penetapan tiga tersangka yakni Komisaris Utara berinisial TRA, AB dan SM selaku Direktur Utama pada Juni 2024. “Sudah ada tiga tersangka ditetapkan.

Namun perlu penyelidikan lebih lanjut siapa aktor di belakangnya,” kata Alfian kepada AJNN, Sabtu, 20 Juli 2024. Dengan modal diberikan Pemerintah Kota (Pemko) Sabang senilai Rp 2,5 miliar, kata Alfian, tentunya ada aktor dibalik anggaran tersebut.

Baca Juga : Kejati Didesak Usut Temuan Kerugian Negara di KONI Aceh

Sudah sepantasnya Kejari mencari dan menyelidiki tersangka lain. “Tentu kita sangat berharap akan pemeriksaan lebih lanjut,” ujar Alfian.

Baca Juga : MaTA Dukung Polda Usut Dugaan Korupsi PSR di Aceh Utara

Alfian juga menyebutkan dalam dugaan korupsi ini, tentunya ada orang dibalik perencanaan. Sebab, dari segi pengelolaan diduga bermasalah, sudah dapat dicurigai adanya perencanaan awal.

Salinan ini telah tayang di https://www.ajnn.net/news/mata-desak-jaksa-selidiki-aktor-utama-dugaan-korupsi-penyertaan-modal-pt-psm/index.html.

Kejati Didesak Usut Temuan Kerugian Negara di KONI Aceh

Berita |Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, meminta Kejaksaan Tinggi Aceh segera menindaklanjuti temuan Badan Pemeriksaan Keuangan soal dugaan penyelewengan dana hibah di kepengurusan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Aceh.

Menurut dia, total kerugian negara senilai Rp 11,2 miliar adalah bukti utama untuk memulai pengusutan.

“Saya pikir ini harus segera ditindak oleh Kejaksaan Tinggi Aceh maupun Komisi Pemberantas Korupsi. Temuan ini ini adalah masalah serius. Potensi total kehilangan dan anggaran yang dihabiskan tidak sesuai,” kata Alfian, Rabu, 26 Juni 2024.

Alfian mengatakan kasus ini berpotensi masuk dalam tindak pidana korupsi. Alfian mengatakan hasil temuan BPK itu bukan aduan sehingga Kejati Aceh dapat segera menangani dan memulai proses penyelidikan.

Jika melihat pola dan modus korupsi seperti yang ditemukan BPK itu, Alfian hakul yakin kejahatan itu dirancang sejak awal. Para pelaku, kata Alfian, merancang skenario untuk merampok anggaran yang seharusnya digunakan dalam menyukseskan penyelenggaraan PON Aceh-Sumatra Utara 2024.

Alfian juga berharap BPK memberikan klarifikas kepada publik terhadap temuan tersebut. Sehingga dugaan penyimpangan itu tidak sekadar menjadi laporan tanpa tindak lanjut yang membuat kejahatan sejenis terus berulang. “BPK berkewajiban untuk itu sesuai dengan perintah undang-undang,” kata Alfian.

Alfian juga mengingatkan Inspektorat Aceh untuk segera mengambil langkah penyelamatan kerugian negara seperti yang diungkap BPK dalam laporan mereka.

Tapi intervensi Inspektorat Aceh itu jangan jadi alasan untuk menghapus proses hukum terhadap orang-orang yang diduga terlibat dalam dugaan kejahatan itu.

“Inspetorat tidak punya kewenangan untuk menghentikan kasus. Jika inspektorat berupaya meredam perkara itu agar tidak dibawa ke kejaksaan, maka inspetorat melakukan kejahatan luar biasa,” kata Alfian.

Salinan ini telah tayang di https://www.ajnn.net/news/kejati-didesak-usut-temuan-kerugian-negara-di-koni-aceh/index.html