Beranda blog Halaman 16

Minimalisir Sengketa Informasi, MaTA Gelar Workshop Penyusunan Daftar Informasi Publik di Aceh Timur

MaTA – Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) bekerjasama dengan Dinas Komunikasi Informasi dan Persandian Aceh menggelar Sosialisasi dan Workshop Penyusunan Daftar Informasi Publik di Gedung  Serbaguna Aceh Timur pada Kamis (31/01/2019).

Kegiatan yang diikuti oleh seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dalam lingkungan Pemerintah Aceh Timur bertujuan memberikan pemahaman tentang UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) serta tata cara penyusunan Daftar Informasi Publik (DIP).

Dalam sambutan Bupati Aceh Timur yang dibacakan oleh Asisten Administrasi Umum Setdakab Aceh Timur, M. Amin menyebutkan badan publik penting untuk memiliki sistem pengelolaan dan pelayanan informasi publik yang baik. Hal tersebut terkait kewajiban Badan Publik untuk menyediakan dan melayani permintaan informasi secara cepat, tepat waktu, biaya ringan dan dengan cara yang sederhana.

Salah satu upaya untuk memenuhi kewajiban pelayanan informasi tersebut adalah dengan menyediakan Daftar Informasi Publik (DIP).

MaTA Gelar Workshop Penyusunan Daftar Informasi Publik

Berdasarkan refleksi yang dilaksanakan oleh MaTA, selama 11 tahun disahkannya UU KIP ternyata implementasinya belum berjalan maksimal. Faktanya masih banyak permohonan informasi oleh masyarakat yang justeru berujung di sidang penyelesaian sengketa informasi.

Kondisi tersebut setidaknya terpapar di 4 kabupaten yang menjadi wilayah dampingan MaTA yaitu Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Timur dan Aceh Tamiang. Kempat kabupaten tersebut ternyata belum menyusun DIP yaitu daftar yang memuat seluruh jenis informasi yang dikuasai oleh pemerintah setempat yang berhubungan penyelenggaraan negara dan pelayanan public lainnya.

Dengan terjadinya sengketa terhadap permohonan informasi  public yang terbuka membuktikan bahwa Badan Publik tersebut telah abai terhadap amanah pasal 2 ayat (3) UU No.14 Tahun 2008 bahwa Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana.

Tentu tidak sedikit waktu, energi dan anggaran yang terkuras untuk mengikuti sidang sengketa informasi karena waktu bisa mencapai 100 hari kerja. Masyarakat tentu akan sangat dirugikan dengan kondisi tersebut.

MaTA  berkeyakinan kegiatan ini efektif untuk memberikan pemahaman secara utuh kepada OPD terkait praktik Keterbukaan Informasi sehingga kedepan proses pelayanan informasi kepada masyarakat dapat berjalan sesuai aturan, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme dalam tata kelola pemerintah yang baik dan bersih.MaTA Gelar Workshop Penyusunan Daftar Informasi Publik

Hadir sebagai narasumber pada kegiatan tersebut adalah: Marwan Nusuf (Kepala Dinas Komunikasi Informasi dan Persandian Aceh), Ibu Asriani (Koordinator Layanan Informasi Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Aceh), Cut Asmaul Husna (Akademisi Universitas Teuku Umar) dan Amel (MaTA). Sedangkan yang menjadi moderator Khairul Rijal (Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika) Aceh Timur.

[Siaran Pers] MaTA: Kerugian Negara Kasus Indikasi Korupsi 2018 Bisa Bangun 159 Unit SD

MaTA Selenggarakan Diskusi “Aceh Hebat Tanpa Korupsi”

MaTA – Upaya penegakan hukum atas kasus indikasi tindak pidana korupsi di Aceh masih sangat lemah dilakukan oleh aparat penegak hukum. Dan bahkan kinerja Kejaksaan dan Kepolisian di Aceh dinilai kurang serius dalam menindak kasus dan pelaku-pelaku tidak pidana korupsi. Hal ini terlihat dari hasil pemantauan peradilan tahun 2018 khususnya kasus-kasus indikasi yang dilakukan oleh Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA).

Demikian beberapa poin yang muncul dalam diskusi yang diselenggarakan oleh MaTA tentang kilas balik pemberantasan korupsi di Aceh dengan tema “Aceh [akan] Hebat tanpa Korupsi”. Kegiatan yang diselenggarakan di Hotel Oasis Banda Aceh, 24 Januari 2019 difasilitasi oleh Yarmen Dinamika dan turut mengundang oleh sejumlah peserta dari kalangan akademisi, Kejati Aceh, Dir Reskrimsus Polda Aceh, BPKP RI Perwakilan Aceh, Komisi Informasi Aceh (KIA), organisasi masyarakat sipil, dan jurnalis.

Berdasarkan catatan MaTA, selama tahun 2018 terdapat 41 kasus indikasi korupsi yang sedang dalam proses penyidikan dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 398 milyar. Jumlah ini belum termasuk beberapa kasus yang belum ditentukan kerugian negara oleh BPKP Perwakilan Aceh. Kalau di konversi, jumlah kerugian tersebut bisa membangun 159 unit Sekolah Dasar (SD) dengan besaran anggaran Rp 2,5 milyar per sekolah.

Koordinantor MaTA, Alfian, dalam pembukaannya menyampaikan bahwa kegiatan ini bertujuan memberi masukan kepada aparat penegak hukum, khususnya Kejaksaan dan Kepolisian di Aceh dalam penanganan kasus indikasi tindak pidana korupsi. Selama ini, banyak kasus-kasus yang ditangani oleh aparat penegak hukum sudah “berulang tahun” sehingga dibutuhkan dorongan dan masukan dari masyarakat kepada aparat penegak hukum untuk percepatan penanganan perkara.

Akademisi Unsyiah, Nazamuddin menyampaikan strategi yang diambil oleh aparat penegak hukum berbeda satu sama lain. Misalkan KPK, dalam pengungkapan kasus mereka lebih mengedepankan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Menurut akademisi Unsyiah ini, proses OTT tidak menghabiskan energi yang banyak dalam mengumpulkan barang bukti. Begitu ketahuan, langsung ditangkap dan barang buktinya sudah ada.

Komisioner KIA, Afrizal Tjoetra menyarankan, pemberantasan korupsi harus dilakukan sejak awal. Bukan pada saat kasus-kasus tersebut disidik oleh aparat penegak hukum, tapi lebih jauh dari itu. Penerapan transparansi, semisal E-Planning, E-Budgeting dan sebagainya harus terus ditingkatkan. Hal ini bertujuan untuk mendorong keterbukaan ditingkat pemerintah daerah. Menurut Afrizal Tjoetra, ini adalah salah satu metode pencegahan korupsi yang perlu dikawal secara bersama-sama.

Kerugian Negara Kasus Indikasi Korupsi

Akademisi Unmuha, Taufik A Rahim menyarankan kepada aparat penegak hukum di Aceh agar setiap kasus yang sudah masuk dalam proses lidik harus segera dituntaskan. Jangan sampai kasus-kasus tersebut mengambang dan tidak ada kepastian hukum. Ada banyak kasus seperti hasil monitoring peradilan MaTA tahun 2018 yang proses lidiknya sudah sangat lama, tapi belum ada kepastian hukum hingga saat ini..

Banda Aceh, 24 Januari 2019

Badan Pekerja
Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA)

dto

BAIHAQI
Koordinator Bidang Hukum dan Politik

Selenggarakan Forum Akuntabilitas Publik, Ini Tema yang diangkat oleh MaTA

MaTA – Peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi bukan hanya pada titik pelaporan kasus-kasus kepada aparat penegak hukum yakni Kejaksaan, Kepolisian dan KPK, tapi lebih luas dari pada itu.

Salah satunya seperti yang dilakukan oleh Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) yakni pemantauan terhadap penanganan kasus-kasus yang sedang ditangani oleh aparat penegak hukum, mulai dari penyidikan, penuntutan hingga vonis di Pengadilan Tipikor.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Koordinator Bidang Hukum dan Politik, Baihaqi, disela-sela pelaksanaan kegiatan forum akuntabilitas publik tentang kilas balik pemberantasan korupsi di Aceh dengan tema “Aceh (akan) Hebat tanpa Korupsi”, di Hotel Oasis Banda Aceh, Kamis 24 Januari 2019.

Berdasarkan catatan MaTA, sebut Baihaqi, pada tahun 2018 lalu, hasil pemantauan MaTA menemukan 41 kasus indikasi korupsi yang sedang dalam penyidikan aparat penegak hukum. Kejaksaan menangani 22 kasus, Kepolisian 16 kasus dan KPK 3 kasus.

“Beberapa kasus ini, potensi kerugian yang ditimbulkan berdasarkan hasil audit mencapai 398.750.221.505 atau setara dengan 4984 unit rumah bantuan untuk dhuafa. Jumlah kerugian tersebut belum termasuk 10 kasus yang masih dalam proses audit”, papar Baihaqi.

Baihaqi menambahkan, “hasil pemantauan tersebut telah dirilis oleh MaTA dalam bentuk laporan tren penegakan hukum kasus korupsi di Aceh. Karena bersifat tren, maka pemantauan juga dilakukan terhadap kasus-kasus korupsi yang sudah dilakukan penyidikan sejak beberapa tahun sebelumnya”.

Atas dasar itulah MaTA berinisiatif menyelenggarakan diskusi yang melibatkan beberapa unsur guna mendapatkan berbagai gagasan-gagasan kreatif sebagai masukan untuk aparat penegak hukum dalam percepatan penanganan kasus-kasus indikasi korupsi di Aceh.

“MaTA menilai kegiatan ini sangat strategis untuk advokasi dan kampanye, sekaligus bisa menjadi forum untuk mendorong akuntabilitas kinerja aparat penegak hukum di daerah”, ujar Baihaqi.

Tujuan lain diselenggarakan kegiatan ini, sebut Baihaqi, untuk membahas temuan hasil pemantauan kasus indikasi korupsi di Aceh berdasarkan hasil pemantauan MaTA dan mengkaji lebih dalam persoalan dan solusi yang bisa direkomendasikan agar penanganan perkara korupsi di daerah semakin baik.

“Membangun kolaborasi antara penegak hukum di daerah dan organisasi masyarakat sipil pemantau untuk mengawal berbagai perkara korupsi atas dasar integritas bersama juga menjadi tujuan pelaksaan kegiatan ini”, pungkas Baihaqi.

[Siaran Pers] PSI Belum Memberikan Dampak Signifikan bagi Perbaikan Layanan Informasi pada Badan Publik di Aceh

MaTA – Penyelesaian Sengketa Informasi (PSI) di Komisi Informasi Aceh (KIA) belum memberikan dampak signifikan bagi perbaikan layanan Informasi pada Badan Publik di Aceh. Demikian kesimpulan yang disampaikan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) dalam seminar hasil survey tingkat kepuasan dan dampak dalam penyelesaian sengketa informasi publik di Aceh.

Kegiatan yang diselenggarakan di aula Hotel Kryad pada 22 Januari 2019 menghadirkan sejumlah unsur dari Pemerintah Daerah, Komisioner KIA, Organisasi Masyarakat Sipil dan juga beberapa jurnalis di Banda Aceh.

Survey tingkat kepuasan dan dampak dalam penyelesaian sengketa informasi merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan MaTA dalam menilai kepatuhan badan publik di Aceh dalam mengimplementasikan undang-undang keterbukaan informasi publik. Penelitian terkait implementasi Undang-undang ketebukaan informasi di Aceh telah dilakukan MaTA sejak Oktober 2018 silam.

Hasil survey ini mengambil sampel penelitian berdasarkan data Penyelesaian Sengketa Informasi di KIA. Berdasarkan data, penyelesaian sengketa informasi di KIA sejak 2013 hingga Agustus 2018 tercatat sebanyak 238 sengketa Informasi. Pada survey kepuasan pemohon dan termohon Tim Peneliti mengambil sampel pada 70 pemohon dan 40 termohon.

Sedangkan untuk memotret dampak penyelesaian PSI, tim peneliti mengambil sampel khusus. Sampel Survey dampak PSI ditetapkan mewakili unsur SKPA yang fokus pada sektor terkait dengan Pengelolaan Sumber Daya Alam serta pada 3 Partai Politik.

SKPA yang menjadi sampel tersebut yaitu Bappeda, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dinas Energi Sumber Daya Mineral, Dinas Pertanian dan Perkebunan, Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu. Sedangkan partai politik yang menjadi sampel yaitu: Partai Demokrat, Partai Golkar dan Partai Aceh.

Hasil penelitian yang dilakukan MaTA menunjukkan dari delapan variable yang dinilai (Persyaratan, Sistem mekanisme dan prosedur, Waktu pelayanan, Produk spesifikasi jenis pelayanan, Kompetensi pelaksana, Perilaku pelaksana, Pengelolaan saran/ keluhan dan pengaduan, dan Sarana dan prasarana), nilai rata-rata Kepuasan Pemohon dan Termohon masuk kategori BAIK, tetapi lebih dekat pada angka KURANG BAIK. Dari delapan varibel yang dinilai, enam variabel bernilai baik dan dua variabel berada di bawah rata-rata atau kategori kurang baik.

Variabel dengan nilai paling tinggi adalah Variabel (6) Perilaku Pelaksana dengan nilai 3.28. Dua variabel yang bernilai kurang baik adalah Variabel (7) Pengelolaan Saran, Keluhan dan Pengaduan dengan nilai 2.37 Variabel (8) Sarana dan Prasarana juga dengan nilai 2.68.

Rendahnya Variabel (7) berkaitan dengan dengan kurangnya sosialisasi terkait pengelolaan saran, keluhan dan pengaduan yang didapat responden saat berlangsungnya PSI. Sementara Variabel (8) berkaitan dengan sarana dan prasarana yang belum maksimal di tempat digelarnya PSI.

Survey kepuasan ini juga memotret lebih dalam mengenai kepuasan pemohon perempuan dan laki-laki. Hasil survey menunjukkan bahwa kepuasan Pemohon perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Pemohon perempuan memberikan nilai 2.92 (kurang baik), pemohon laki-laki memberikan nilai 3.15 (baik) dalam survey kepuasan pemohon dalam penyelesaian sengketa informasi oleh KIA.

Khusus untuk sektor Sumber Daya Alam (SDA), Kepuasan Pemohon pada sektor SDA rata-rata adalah 2.98 (kurang baik). Sedangkan penelitian terhadap dampak penyelesaian sengketa informasi peneliti mengambil sampel dari unsur SKPA yang berfokus pada sektor pengelolaan Sumber Daya Alam dengan mengambil 5 sampel SKPA dan 3 partai politik.

Meskipun tidak cukup signifikan, sengketa informasi melalui PSI di KIA telah memberikan dampak bagi Badan Publik untuk membenahi pelayanan Informasi Publik. Beberapa dampak perubahan yang terpotret dari kajian yaitu mengenai Badan Publik mulai “terpacu” untuk lebih memahami UU Keterbukaan Informasi Publik dan peraturan terkait lainnya.

Selain itu, Badan Publik mulai lebih terbuka dalam melayani permintaan informasi meskipun juga masih melihat “siapa yang meminta informasi”. Temuan lainnya yaitu mengenai beberapa badan publik mulai ada inisiatif melakukan inovasi untuk memberikan informasi kepada masyarakat dengan memaksimalkan website lembaga dan menggunakan media sosial.

Dari hasil kajian tersebut, MaTA memberikan beberapa catatan pembenahan yang harus dilakukan oleh para pihak pemangku kepentingan:

Komisi Informasi Aceh (KIA)

  1. Segera melakukan evaluasi internal yang melibatkan Komisioner dan Sekretariat KIA  terhadap proses PSI yang sudah dan sedang berjalan dengan menjadikan hasil penelitian ini sebagai “refleksi”.
  2. Membenahi berbagai kekurangan sesuai hasil penelitian, seperti membenahi fasilitas sarana dan prasarana yang ramah perempuan anak dan disabilitas.
  3. Memaksimalkan koordinasi dan kerjasama lintas sektor sehingga dapat memperluas sosialisasi terkait dengan UU KIP, terutama terkait dengan PSI.
  4. Melakukan survey secara mandiri terkait dengan PSI di KIA, yang bisa diadopsi dari penelitian ini sehingga setiap tahun dapat diketahui “Bagaimana KIA” dalam pandangan Pemohon dan Termohon

Pemerintah Aceh dan PPID Utama

  1. Rancangan Qanun Keterbukaan Informasi Publik perlu disahkan secepatkan; dengan menjamin semua warga termasuk perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok rentan mendapatkan perlakuan yang sama dalam memperoleh Informasi Publik.
  2. Melakukan evaluasi “lebih dalam” terhadap Badan Publik SKPA. Perlu dibangun reward dan punisment yang lebih progressif sehingga KIP dapat lebih optimal.
  3. Memaksimalkan alokasi dana kepada KIA maupun PPID Badan Publik dalam kerja-kerja pelayanan dan keterbukaan informasi publik.
  4. Mengakomodasi beberapa temuan dan masukan terkait kendala di Badan Publik dalam menjalankan pelayanan keterbukaan informasi publik.

Badan Publik SKPA dan Partai Politik

  1. Mengembangkan pengetahuan dan kemampuan SDM di lingkungan Badan Publik dalam memahami keterbukaan informasi publik.
  2. Membenahi sarana dan prasarana PPID Badan Publik, demi memudahkan akses informasi oleh masyarakat termasuk ramah perempuan dan penyandang disabilitas.
  3. Memaksimalkan penggunaan media internal (website lembaga) dan media sosial.

Banda Aceh, 23 Januari 2019

Badan Pekerja
Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA)

dto

HAFIDH
Koordinator Bidang Advokasi Kebijakan Publik

Paparkan Hasil Survey Dampak dan Kepuasan Penyelesaian Sengketa Informasi, MaTA Selenggarakan Seminar

MaTA – UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik merupakan salah satu komitmen pemerintah untuk mewujudkan keterbukaan informasi.

Selain mengatur tentang teknis tentang transparansi informasi, aturannya ini sendiri juga memberi ruang kepada masyarakat untuk dapat berpartisipasi untuk mendapatkan akses informasi.

Demikian disampaikan oleh Fadillah Ibra disela-sela pelaksanaan seminar diseminasi hasil survey Dampak dan Kepuasan Penyelesaian Sengketa Informasi yang diselenggarakan MaTA di Aula Hotel Kryad 22 Januari 2019.

Menurut Fadillah, di Aceh pelembagaan keterbukaan informasi belum terlaksana secara maksimal. Hal ini terlihat masih adanya sengketa informasi yang diselesaikan oleh Komisi Informasi Aceh (KIA).

Mengutip laporan Komisi Informasi Aceh, sebut Fadillah, Penyelesaian Sengketa Informasi (PSI) di KIA yang setiap tahun mengalami peningkatan.

“Di tahun 2013 ada 13 sengketa informasi publik, tahun 2014 terdapat 39 sengketa, 2015 terdapat 44 sengketa, tahun 2016 terdapat 68 sengketa, tahun 2017 terdapat 74 sengketa dan tahun 2018 (sampai bulan agustus) terdapat 39 sengketa informasi”, paparnya.

Selain itu, tambah Fadillah, hasil evaluasi KIA menunjukkan Badan Publik di lingkungan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota belum mematuhi amanat Undang-undang Keterbukaan Informasi No 14 Tahun 2008.

“Belum ada perubahan yang signifikan terkait keterbukaan informasi meskipun UU tentang Keterbukaan Informasi sudah ditetapkan pada 2008 dan mulai efektif berlaku pada 2010′, ujarnya.

Beberap hal tersebut di atas, sebut Fadillah, mendorong MaTA melakukan kolaborasi dengan KIA untuk menilai kepatuhan terhadap Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) dilevel pemerintahan provinsi, partai politik di provinsi dan juga instansi vertikal yang ada dilevel provinsi Aceh.

Selain evaluasi kepatuhan, MaTA secara mandiri juga akan melakukan survey kepuasan pemohon dan termohon dalam penyelesaian sengketa informasi publik di KIA dan survey dampak penyelesaian sengketa publik terhadap badan publik.

“Hal ini bertujuan untuk melihat efektifitas penyelesaian sengketa informasi yang dilakukan oleh KIA”, sebut Fadilla.

Menurut Fadilla, survey yang dilakukan MaTA ini belum pernah dilakukan sebelumnya di provinsi lain ataupun di tingkat nasional. “Tools kedua survey ini bisa menjadi acuan bagi daerah lain untuk menilai kepuasan pemohon dan termohon dalam penyelesaian PSI dan menilai dampak penyelesaian PSI bagi badan publik”, ujarnya

Untuk menyampaikan hasil survey ini dan juga sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik atas apa yang telah dilakukan, MaTA menyelenggarakan forum seminar yang melibatkan beberapa para pihak di Aceh. “Forum ini bertujuan untuk menyampaikan hasil penelitian kepuasan pemohon dan termohon dalam penyelesaian Sengketa Informasi Kepada publik”, sebut Fadilla.

Selain itu, tambah fadillah, forum ini juga untuk menyampaikan hasil penelitian Dampak penyelesaian Sengketa Informasi bagi Badan Publik kepada publik dan pengambil kebijakan dan penelitian ini akan menjadi masukan bagi Komisi Informasi dalam pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik.

“Penelitian ini menjadi acuan bagi Badan publik dalam melakukan perbaikan di lembaga masing-masing”, pungkasnya.

MaTA: Sekda Aceh Harus Bebas dari Intervensi Elite Politik

MaTA – Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mengingatkan calon Sekda Aceh yang terpilih harus berkualitas, bersih, dan bukan karena kedekatan atau konflik kepentingan.

“Artinya, harus bebas dari intervensi elite politik,” kata Koordinator MaTA, Alfian, Jumat, 11 Januari 2019, malam.

Menurut Alfian, jika diibaratkan menjalankan kendaraan, Gubernur kakinya di pedal gas, sementara Sekda tekan rem. “Jadi, Sekda itu tidak boleh yang manut saja, tapi harus berani injak rem apabila Gubernur mulai menyimpang,” ujarnya.

Alfian menyebutkan, Sekda Aceh yang baru nantinya harus mampu mengembalikan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. “Saat ini birokrasi Pemerintah Aceh lemah dalam komitmen terhadap antikorupsi. Sekda yang baru harus mampu membersihkannya”.

“Jadi, Sekda penting memiliki komitmen antikorupsi yang kuat. Karena itu menjadi modal dasar dalam tata kelola pemerintah saat ini, sehingga kepercayaan publik makin kuat dan rencana pembangunan Aceh ke depan tidak hanya impian yang sudah sangat lama dinantikan, ‘Aceh (Baru) Hebat Tanpa Korupsi’,” kata Alfian.

Diberitakan sebelumnya, Tim Penilai Calon Sekda Aceh menetapkan tiga nama calon untuk disampaikan kepada Plt. Gubernur Aceh melalui Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat).

Ternyata tiga nama calon Sekda Aceh itu adalah tiga Asisten Sekda Aceh yang menjabat saat ini. Mereka ialah Dr. M. Jafar, S.H., M.Hum. (Asisten Pemerintahan dan Keistimewaan Aceh, sering disebut Asisten I), dr. Taqwallah, M.Kes. (Asisten Perekonomian dan Pembangunan/Asisten II), dan Kamaruddin Andalan, S.Sos., M.Si. (Asisten Administrasi Umum/Asisten III).

Ketua Tim Penilai Calon Sekda Aceh, Prof. Dr. Abdi A. Wahab, M.Sc., membenarkan pihaknya sudah menetapkan tiga nama calon Sekda Aceh dari 10 peserta yang ikut seleksi.

Prof. Abdi menyebutkan, seleksi calon Sekda Aceh sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2009 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Daerah Aceh dan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota di Aceh.

“Yang diminta PP 58 (2009) itu adalah tiga orang calon yang mempunyai nilai yang terbaiklah (peringkat tertinggi berdasarkan penilaian). Jadi, mereka itu sama peluangnya. Memang PP 58 minta begitu. Tidak diurut 1, 2, 3, tidak,” kata Prof. Abdi diwawancara portalsatu.com melalui telepon seluler, Jumat, 11 Januari 2019, sekitar pukul 11.30 WIB.

Jadi, kata Prof. Abdi, “Tidak ada tendensi bahwa mengatakan si A ini lebih baik dari si B, lebih baik dari si C. Tapi ketiga mereka itu adalah mereka yang berhasil menunjukkan kemampuannya di dalam seleksi itu, dan dialah yang mempunyai predikat terbaik gitu”.

“Makanya kita tidak umumkan secara berurut gitu, nomor 1 ini, nomor 2 ini, nomor 3 ini. Ini ndak. Mereka itu sama posisinya masuk pada kelompok yang bisa mendapat predikat tertinggi gitu,” ujar Prof. Abdi.

Prof. Abdi mengakui tiga nama calon Sekda Aceh itu diumumkan sesuai abjad, yakni Kamaruddin Andalan, M. Jafar, dan Taqwallah. “Ya lah, itu kan tata krama kita menulis,” katanya.

Dia memastikan tiga nama calon Sekda Aceh yang ditetapkan itu murni hasil penilaian tim, tidak ada intervensi dari pihak lain. “Insya Allah, nggak (tidak ada intervensi),” ujar Prof. Abdi.

“Ketiga-tiganya asisten, kebetulan. (Tapi) tidak ada hubungannya, kita tidak merencanakan seperti itu. Barang kali secara teori kita bisa menilai memang selama ini mereka berkecimpung di dalam pemerintahan, kan begitu. Ya, mereka tahulah. Kita tidak bisa menafikan pengetahuan dan pemahaman mereka,” kata Ketua Tim Penilai Calon Sekda Aceh itu.

Dia pun kembali menegaskan hasil seleksi itu sesuai amanah PP Nomor 58 Tahun 2009. “Kita bergantung pada PP. Jadi, tidak ada ditambah, tidak ada dikurangi. Dipandu oleh PP itu. Semua kita tunduk kepada itu,” ujar Prof. Abdi. Prof. Abdi menyebutkan, pihaknya akan menyerahkan berita acara penetapan tiga nama calon Sekda Aceh kepada Plt. Gubernur Aceh melalui Baperjakat. “Secara resmi kita akan menyerahkan dengan berita acara. (Diserahkan kepada Plt. Gubernur Aceh) melalui Baperjakat dalam hal ini Pak Sekda. (Kepada) Pak Sekda (Dermawan) sudah melapor juga kita kan,” katanya.

Selanjutnya, sesuai pasal 9 PP 58/2009, Gubernur melakukan konsultasi dengan Presiden sebelum menetapkan calon Sekda Aceh. Gubernur menetapkan seorang calon Sekda Aceh setelah berkonsultasi dengan Presiden. Penetapan dan penyampaian calon Sekda Aceh kepada Presiden dengan surat Gubernur. Presiden menetapkan calon Sekda Aceh yang diajukan oleh Gubernur menjadi Sekda Aceh dengan Keputusan Presiden.

Artikel ini telah tayang di http://portalsatu.com/read/news/mata-sekda-aceh-terpilih-harus-bebas-dari-intervensi-elite-politik-47461

Gelar Konferensi Pers, MaTA Paparkan Kasus Indikasi Korupsi di Aceh Tahun 2018

MaTA – Selama tahun 2018, setidaknya terdapat 41 kasus indikasi korupsi di Aceh yang disidik oleh Kejaksaan, Kepolisian dan juga KPK. Demikian salah satu poin yang disampaikan oleh Masyarakat Transparasi Aceh (MaTA) dalam konferensi pers yang digelar pada (08/11) di kantor MaTA.

Dalam konferensi pers turut mengundang sejumlah jurnalis dari berbagai media di Aceh, MaTA menyampaikan dari 41 kasus tersebut 22 kasus disidik oleh Kejaksaan, 16 oleh kepolisian dan 3 oleh KPK. Kasus-kasus tersebut tersebar dibeberapa wilayah di Aceh.

Berdasarkan temuan MaTA, total kerugian dari kasus yang masih ditangani hingga tahun 2018 mencapai Rp 398.750.221.505 setara dengan 4984 unit rumah dhuafa. Kerugian tersebut belum termasuk 10 kasus yang masih dalam proses audit oleh BPKP, 6 kasus OTT Saber Pungli, 1 kasus gratifikasi dan 1 kasus suap.

Kasus PDKS merupakan kasus dengan kerugian terbesar yang ditangani Kejati Aceh dengan nilai Rp 51.000.000.000. Sedang kasus dengan kerugian terbesar yang ditangani oleh Kepolisian adalah kasus pengadaan ternak di Kota Lhokseumawe yang nilainya mencapai Rp 8.168.000.000.

Lihat Hasil Monitoring Peradilan Kasus Indikasi Korupsi di Aceh Tahun 2018

Berikut beberapa foto kegiatan konferensi pers yang digelar MaTA untuk menyampaikan hasil monitoring peradilan tahun 2018.

[Slide] Hasil Monitoring Peradilan Kasus Indikasi Korupsi di Aceh Tahun 2018

MaTA – Pemantauan terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi dilakukan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) sejak 2011 hingga sampai saat ini. Tujuannya adalah untuk melakukan pemetaan kasus indikasi korupsi yang disidik oleh Aparat penegak Hukum.

Selain itu, monitoring ini juga bertujuan untuk mendorong institusi penegak hukum transpran dalam menangani perkara indikasi korupsi di Aceh. Monitoring peradilan ini juga sebagai bagian keikutsertaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan-undangan.

Pada tahun 2018 hasil monitoring, MaTA menemukan 41 kasus indikasi korupsi di Aceh dalam proses penyidikan oleh Kejaksaan, Kepolisian dan KPK. Kasus-kasus tersebut telah dianalisa berdasarkan beberapa kategori, seperti modus, aktor yang terlibat dan berbagai hal lain.

Berikut hasil monitoring peradilan kasus indikasi korupsi di Aceh tahun 2018 yang telah disusun dalam slide presentasi.

MaTA Nilai APBA 2019 Boros

MaTA – Meski sempat mendapat apresiasi dari sejumlah kalangan karena APBA 2019 bisa disahkan pada akhir 2018 namun sukacita itu berangsur redup karena APBA senilai Rp 17,016 triliun tersebut masih mencerminkan pemborosan uang rakyat.

“Salah satu indikasinya adalah belanja perjalanan dinas yang diusulkan pada 2019 mencapai Rp 448,6 miliar atau hampir setengah triliun,” ungkap Koordinator LSM Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian kepada Serambi, Rabu (2/1) di Banda Aceh.

Menurut Alfian, dari hampir setengah triliun dana perjalanan dinas tersebut, sebesar Rp 267,8 miliar dialokasikan untuk perjalanan dinas dalam daerah. Sedangkan untuk luar daerah Rp 159,3 miliar dan luar negeri Rp 21,4 miliar. Anggaran perjalanan dinas itu termasuk untuk perjalanan dinas pimpinan dan anggota DPRA.

Khusus untuk perjalanan dinas kegiatan kunjungan kerja pimpinan dan anggota DPRA di dalam daerah dialokasikan Rp 5 miliar, luar daerah Rp 8 miliar, dan luar negeri Rp 3,8 miliar.

Dari sejumlah pos anggaran perjalanan dinas dalam daerah, menurut Alfian, ada beberapa pos anggaran tidak masuk akal karena nilainya terlalu besar.

Misalnya, belanja perjalanan dinas untuk kegiatan revitalisasi sistem kesehatan mencapai Rp 3,3 miliar, kegiatan pengembangan rumah sehat Rp 3,6 miliar, kegiatan pembangunan sarana dan prasana gedung Rp 4,7 miliar, kegiatan pembangunan pemukiman transmigrasi Rp 3,7 miliar.

Kegiatan pengembangan sarana dan prasarana budi daya ikan air payau Rp 2,098 miliar, kegiatan pembangunan jalan dan jembatan kawasan permukiman Rp 2,9 miliar, kegiatan peningkatan tata kelola pengelolaan SDA terpadu Rp 2,9 miliar, kegiatan pembahasan rancangan peraturan daerah Rp 3,098 miliar.

Berikutnya, untuk kegiatan pelatihan pendidik dan tenaga pendidikan untuk memenuhi standar kompetensi SMA dan PKLK Rp 2,1 miliar, kegiatan pembangunan dan pengembangan prasarana dayah Rp 3,7 miliar.

Selain itu, lanjut Alfian, ada yang dua kali dialokasikan, yaitu kegiatan konsultasi dan kerja sama dalam dan luar negeri. Pada pos perjalanan dalam daerah dialokasikan Rp 6,3 miliar dan pada pos perjalanan luar daerah Rp 4,59 miliar.

Untuk perjalanan dinas luar daerah, yang terlihat besar alokasinya, sebut Alfian adalah untuk kegiatan pembahasan rancangan qanun mencapai Rp 10,7 miliar, kegiatan konsultasi dan kerja sama dalam dan luar negeri Rp 4,5 miliar, untuk kegiatan rapat-rapat paripurna Rp 5,4 miliar.

Untuk perjalanan luar negeri yang agak besar, lanjut Koordinator MaTA, antara lain promosi pariwisata nusantara Rp 2,3 miliar, peningkatan kerja sama dengan dunia usaha dan dunia industri Rp 1,053 miliar, kerja sama investasi dan pengembangan potensi unggulan daerah Rp 1 miliar, kegiatan peningkatan pelayanan keagamaan Rp 2,3 miliar, dan pembahasan rancangan qanun Rp 1,9 miliar.

“Yang juga memunculkan pertanyaan adalah di dalam pos perjalanan dinas luar negeri ada kegiatan peningkatan pelayanan administrasi perkantoran dialokasikan dana Rp 1,89 miliar,” ungkap Alfian.

Alfian mengatakan, pemborosan penggunaan anggaran daerah sering terjadi karena mental birokrasi yang merasa tidak pernah cukup, tidak memiliki prinsip ekonomis, efisien, efektif dan berbasis kerja.

Kalau perilaku birokrasi tidak mau berubah, kata Alfian, program pengurangan kemiskinan dan penangguran hanya menjadi jargon belaka. “Kalau masih tetap begini, maka delapan program prioritas dan 15 program unggulan Aceh Hebat hanya retorika dan janji belaka oleh kepala daerah,” demikian Alfian.(her)

Artikel ini telah tayang di http://aceh.tribunnews.com/2019/01/03/apba-2019-boros.

MaTA Pertanyakan Perkembangan Kasus Program Monografi Desa

MaTA – Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mempertanyakan perkembangan penyelidikan (Lidik) Program Monografi Desa 2016/2017 di Aceh Tenggara (Agara) mencapai Rp 7 miliar yang bersumber dari dana APBN.

Koordinator Badan Pekerjaan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, kepada Serambi Indonesia, Selasa (1/1), mengatakan, Kejaksaan Negeri (Kejari) Agara penting memberikan kepastian hukum terhadap Program Monografi Desa dan Profil Desa tersebut.

“Kejari Agara pernah melakukan lidik dan perkembangannya bagaimana sudah? Ini bagian bentuk pertangungjawaban kinerja kejaksaan dalam memberi keadilan bagi masyarakat, sehingga tidak muncul asumsi kurang baik terhadap lidik program monografi desa dan profil desa tersebut,” kata Alfian.

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh lanjutnya, dapat mengambil alih lidik jika kasus ini mangkrak atau mengalami kendala di level Kejari Agara. Kepastian hukum terhadap lidik menjadi penting demi menjaga kewibawaan yang berlanjut terhadap institusi Kejaksaan.

“Oleh karena itu, MaTA menilai pengawalan dan monitoring di tingkat peradilan menjadi keharusan oleh publik sehingga azas berkeadilan terpenuhi dan terjaga secara berkelanjutan,” ujar Alfian.

Untuk diketahui, tahun 2016, alokasi anggaran untuk proyek monografi desa mencapai Rp 4.741.935.00 dan profil desa Rp 2.358.259.000. Tahun 2017 anggaran yang dialokasikan untuk monografi desa Rp 1.887.104.000.

Rinciannya, untuk Kecamatan Semadam pengadaan monografi desa dan buku tahun 2016/2017 masing-masing Rp 270.000.000. Kecamatan Babussalam monografi desa tahun 2016 Rp 390.000.000. Kecamatan Lawe Bulan pengadaan monografi desa 2016 Rp 312.366.000 dan pengadaan buku 2016 Rp 144.491.500, pengadaan monografi desa 2017 Rp 450.060.000.

Kecamatan Ketambe pengadaan buku 2016 Rp 523.624.000. Kecamatan Deleng Pokhkison pengadaan monografi desa 2016 Rp 330.000.000 dan buku 2016 Rp 323.500.000. Kecamatan Bambel pengadaan monografi desa 2016 Rp 855.000.000 dan pengadan buku 2016 Rp 15.000.000.

Kecamatan Babul Makmur pengadaan monografi desa 2016 Rp 225.000.000 dan monografi desa 2017 Rp 141.404.000. Kecamatan Lawe Sigala-gala pengadaan monografi desa 2016 Rp 490.000.000 dan pengadaan buku Rp 36.600.000. Kecamatan Lawe Alas pengadaan monografi desa 2016 Rp 378.258.000 dan pengadaan buku 2016 Rp 360.000.000 dan pengadaan monografi desa 2017 Rp 300.000.000.

Kecamatan Leuser pengadaan monografi desa 2016 Rp 231.311.000 dan buku desa 2016 Rp 340.258.000. Kecamatan Tanoh Alas monografi desa 2016 Rp 210.000.000 dan monografi desa 2017 Rp 30.000.000. Kecamatan Bukit Tusam pengadaan monografi desa dan buku tahun 2016 masing-masing Rp 330.000.000.

Kecamatan Darul Hasanah pengadaan monografi desa 2016 Rp 330.000.000 dan pengadaan monografi desa 2017 Rp 374.640.000. Kecamatan Badar pengadaan monografi desa 2017 Rp 240.000.000.

Kecamatan Lawe Sumur pengadaan monografi desa 2016 Rp 270.000.000 dan Kecamatan Babul Rahmah pengadaan monografi desa 2016 Rp 120.000.000, pengadaan buku 2016 Rp 14.286.000 dan pengadaan monografi desa 2017 Rp 351.000.000.(as)

Artikel ini telah tayang di http://aceh.tribunnews.com/2019/01/03/mata-pertanyakan-perkembangan-kasus-program-monografi-desa

DPRA Sahkan Qanun APBA 2019 pada 31 Desember

MaTA – DPRA menutup lembaran akhir tahun 2018 pada Senin (31/12) pukul 22.15 WIB dengan Sidang Paripurna DPRA untuk mengesahkan Rancangan Qanun (Raqan) APBA 2019 menjadi Qanun APBA 2019 dengan nilai Rp 17,016 triliun.

Sidang Paripurna Pengesahan Qanun APBA 2019 itu dipimpin Ketua DPRA, Muhammad Sulaiman, didampingi Wakil Ketua II, Teuku Irwan Djohan dan dihadiri 33 dari 81 anggota DPRA.

Sementara itu, dari jajaran eksekutif hadir Sekda Aceh Dermawan MM mewakili Plt Gubernur Aceh, Nova Iransyah yang sedang kunjungan kerjanya ke lokasi bencana banjir bandang dan tanah longsor di wilayah tengah. Hadir juga Wali Nanggroe, Muhammad Malik Al-Haythar, anggota Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Aceh, kepala Satuan Kerja Peranglat Aceh (SKPA), LSM, indan pers, dan undangan lainnya.

Ketua DPRA, Muhammad Sulaiman seusai sidang paripurna kepada Serambi mengatakan, Rancangan Qanun APBA 2019 senilai Rp 17,016 triliun itu, di sahkan menjadi Qanun APBA 2019 setelah Banggar Dewan dan Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) pada Senin siangnya, menindaklanjuti hasil evaluasi Mendagri terhadap RAPBA 2019.

Setelah selesai ditindaklanjuti hasil evaluasi Mendagri terhadap Qanun APBA 2019 itu, Badan Musyawarah (Banmus) DPRA membuat rapat penjadwalan Sidang Paripurna Pengesahan RAPBA 2019 pada Senin malam, bertepatan pada malam tahun baru 2019.

Qanun APBA 2019 itu kita sahkan pada malam tahun baru, untuk mewujudkan komitmen DPRA bersama Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah yang telah berjanji kepada publik akan mengesahkan qanun APBA 2019 sebelum masuk tahun anggaran baru 2019,” ujar Sulaiman.

Selain itu, DPRA ingin membuat sejarah baru bagi pengesahan APBA pascadamai Aceh, 15 Agustus 2006, yang sebelumnya tak pernah dilakukan sebelum masuk tahun anggaran berikutnya. “Tapi pada tahun 2018 ini pengesahan RAPBA 2019 sudah kita lakukan pada akhir tahun,” kata Muhammad Sulaiman.

Selain itu, DPRA ingin membuat sejarah baru bagi pengesahan APBA pascadamai Aceh, 15 Agustus 2006, yang sebelumnya tak pernah dilakukan sebelum masuk tahun anggaran berikutnya. “Tapi pada tahun 2018 ini pengesahan RAPBA 2019 sudah kita lakukan pada akhir tahun,” kata Muhammad Sulaiman.

Sejarah baru ini, ulas Wakil Ketua II DPRA, Teuku Irwan Djohan, hendaknya bisa diteruskan dan dibudayakan setiap tahunnya oleh Anggota DPRA Periode 2019-2024. “Ini budaya yang sangat baik bagi legislatif dan eksekutif untuk memberikan alokasi waktu yang tepat kepada para rekanan untuk bekerja, di samping untuk mempersembahkan hasil pembangunan yang tepat waktu dan berkualitas untuk rakyat,” ujar Irwan Djohan.

Usul Bentuk Pansus

Menjelang penutupan Sidang Paripurna Pengesahan APBA 2019 itu, Anggota DPRA dari Fraksi Partai Aceh, Nurzahri ST mengajukan interupsi. Ia meminta Pimpinan DPRA segera membentuk panitia khusus (pansus) pelaksanaan APBA 2018.

Alasannya perlu membentuk Pansus APBA 2018 pada minggu pertama Januari 2019, karena menurut laporan masyarakat banyak proyek fisik APBA 2018 sampai akhir masa pengerjaannya pada 31 Desember 2018 belum selesai 100 persen. Ada ratusan paket jumlahnya yang tersebar di berbagai kabupaten/kota se-Aceh.

Pansus APBA 2018 itu perlu dibentuk DPRA, lanjut Nurzahri, sebagai bahan bandingan bagi anggota DPRA pada saat berlangsung Sidang Paripurna Penyampaian Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBA 2018 yang akan disampaikan Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah pada Maret atau April 2019.

Sementara itu, usulan untuk mengganti Sekwan yang lama, A Hamid Zein, sudah diusulkan oleh anggota dewan dua nama, yakni Suhaimi SH dan Ali Al Fatah MM.

Anggota Fraksi Partai Aceh lainnya, Iskandar Usman Al Farlaki juga mengajukan interupsi. Ia meminta Plt Gubernur Nova Iriansyah tidak memberhentikan guru honorer yang mengajar dipesantren modern dan dayah, mengingat tenaga para guru kontrak itu sangat dibutuhkan di pesantren modern maupun dayah.

Ia juga mempertanyakan sudah sampai di mana proses pengurusan pembebasan 15 nelayan Aceh Timur yang ditangkap penguasa Myanmar pada Desember 2018 .

Sekda Aceh, Dermawan MM seusai sidang paripurna saat dimintai tanggapannya terkait belum dilantiknya sekwan definitif mengatakan, pengusulan sekwan yang baru itu ada prosesnya. Ia juga belum bisa memastikan kapan sekwan yang baru bisa dilantik. Ia hanya mengatakan tahapannya sampai kini masih di Kemendagri.

“Kalau SK-nya sudah turun, Plt Gubernur akan menjadwalkan pelantikannya bersamaan dengan pengisian pejabat eselon II lainnya yang masih kosong. Misalnya, Kadis Kebudayaan dan Pariwisata Aceh. Selain itu, sekda juga akan di-plt-kan. Karena masa tugas saya akan berakhir pada 30 Januari 2019,” demikian Dermawan. (her)

Artikel ini telah tayang di http://aceh.tribunnews.com/2019/01/02/dpra-sahkan-qanun-apba-2019-pada-31-desember

[Siaran Pers] Aturan Jaminan Kesehatan Rugikan Masyarakat

MaTA – Menanggapi Peraturan Presiden No 82 Tahun 2018 Jaminan Kesehatan, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menilai aturan tersebut merugikan dan mengabaikan hak-hak yang seharusnya diterima oleh masyarakat.

Hasil kajian MaTA khususnya bagian kedua tentang manfaat yang tidak dijamin pasal 52 ayat (1) huruf (r) jelas-jelas telah mendiskrimasi dalam pemanfaatan layanan kesehatan.

Selain itu, klausul tersebut juga merugikan masyarakat banyak, baik iurannya yang dibayarkan oleh pemerintah maupun iuran yang dibayarkan mandiri oleh peserta jaminan kesehatan.

Pada pasal 52 ayat (1) disebutkan pelayanan kesehatan yang tidak dijamin meliputi, huruf (r) pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan s3ksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Terkait klausul tersebut, dimana kewajiban pemerintah memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat?

Secara manusiawi, tidak ada masyarakat yang ingin dianiaya, tidak ada masyarakat yang ingin mengalami kekerasan s3ksual dan seterusnya sebagaimana disebutkan dalam aturan tersebut.

MaTA mensinyalir, aturan tersebut disusun oleh oknum yang ingin “membisniskan” layanan kesehatan sehingga melahirkan pasal-pasal yang merugikan masyarakat.

MaTA berharap, Pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memikir ulang dan merevisi klausul tersebut sehingga masyarakat tidak dirugikan untuk mendapatkan layanan kesehatan.

Selain itu, MaTA juga berharap kepada Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota untuk memprotes aturan tersebut. Pasalnya, setiap tahun Pemerintah Aceh selalu membayarkan Rp 500 milyar lebih kepada BPJS Kesehatan untuk diikutkan masyarakat Aceh dalam layanan kesehatan.

Kalau ternyata tidak ditanggapi oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Aceh lebih baik keluar dari skema BPJS Kesehatan dari pada harus bertahan pada skema tersebut akan tetapi layanan kesehatan tidak sepenuhnya dapat diterima oleh masyarakat Aceh.

Disisi lain, sebelumnya adanya usulan revisi terkait klausul tersebut, MaTA mendesak kepada BPJS Kesehatan agar aturan ini disosialisasikan kepada masyarakat secara luas.

Jangan sampai aturan ini hanya difahami oleh BPJS Kesehatan saja. Perlu digaris bawahi, yang menerima dampak akibat pemberlakuan aturan tersebut adalah fasilitas-fasilitas kesehatan, semisal puskesmas dan rumah sakit sebagai pemberi layanan.

Fasilitas kesehatan inilah yang menjadi garda terdepan untuk melayani dan menerima “protes” dari masyarakat terkait layanan kesehatan, bukan BPJS Kesehatan selaku penyelenggara jaminan kesehatan.

Banda Aceh, 12 Desember 2018

Badan Pekerja
Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA)

dto

BAIHAQI
Koordinator Bidang Hukum dan Politik

Program Pemerintah, Sektor Kesehatan di Aceh Rawan Korupsi

MaTA – Pengawasan terhadap program sektor kesehatan di Provinsi Aceh dinilai masih lemah, padahal sektor kesehatan juga rawan praktik korupsi. Korupsi di sektor kesehatan bukan hanya merugikan keuangan daerah, melainkan juga menurunkan kualitas pelayanan bagi pasien.

Hal itu mengemuka dalam diskusi ”Pengawasan Penindakan Kasus Korupsi Sektor Kesehatan di Aceh” yang digelar Masyarakat Transparansi Anggaran (MaTA) Aceh, Kamis (22/11/2018), di Banda Aceh. Diskusi itu menghadirkan pembicara dari Kejaksaan Tinggi Aceh dan MaTA Aceh.

Kepala Divisi Hukum dan Politik MaTA Aceh Baihaqi menuturkan, ada empat kegiatan di sektor kesehatan yang rawan korupsi, yaitu pengadaan alat kesehatan, pengadaan obat-obatan, anggaran operasional, dan pembangunan fisik serta pengadaan sarana.

Kata Baihaqi, sektor kesehatan masih sangat tertutup dan jarang diawasi publik. Selain itu, tidak ada lembaga sipil yang fokus mengawasi isu-isu kesehatan. Berbeda dengan isu lingkungan, ekonomi, dan perempuan yang dikawal oleh banyak lembaga sipil yang aktif mengikuti isu di tiga bidang tersebut.

”Sementara anggaran untuk sektor kesehatan termasuk paling besar. Karena anggaran besar, seharusnya pengawasan lebih ketat,” ujar Baihaqi.

Catatan MaTA Aceh sejak 2011 sampai 2014 terdapat sembilan kasus korupsi sektor kesehatan yang sudah vonis. Dari sembilan kasus itu terdapat 26 terpidana dengan kerugian negara mencapai Rp 18 miliar. Dari 26 terpidana, sebanyak 22 orang adalah pegawai pemerintah dan empat orang swasta. Kasus paling dominan adalah pengadaan alat kesehatan.

Sementara kasus korupsi sektor kesehatan yang masih dalam penyelidikan sebanyak 10 kasus dengan 12 orang ditetapkan sebagai tersangka. Dari 10 kasus itu, baru empat kasus yang diketahui angka kerugian negara, yakni Rp 18,341 miliar. Adapun enam kasus lainnya masih dalam proses audit.

”Artinya, potensi korupsi di sektor kesehatan besar. Kita berharap aparat penegak hukum memberikan perhatian khusus,” kata Baihaqi.

Beberapa kasus yang sedang ditangani kepolisian dan kejaksaan adalah pengadaan CT scan dan kardiologi di RSUD Zainal Abidin Banda Aceh, pengadaan prasarana di RSUD Pidie Jaya, kasus biaya perawatan kendaraan di Dinas Kesehatan Aceh Timur, dan korupsi dana jasa medis petugas puskesmas di Aceh Timur.

Kata Baihaqi, korupsi di sektor kesehatan berpengaruh pada kualitas pelayanan. Dia mencontohkan korupsi dana pengadaan obat, akibatnya terjadi kekosongan obat sehingga tidak tertutup kemungkinan pasien harus membeli obat. ”Kami pernah menemukan kasus pasien beli obat di apotek, padahal obat itu masuk dalam tanggungan Jaminan Kesehatan Nasional,” kata Baihaqi.

Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Aceh Teuku Rahmadsyah mengatakan, selama ini memang tidak ada pengawasan secara khusus terhadap sektor kesehatan. Namun, kasus korupsi sektor kesehatan banyak ditangani oleh kejaksaan.

”Anggaran kesehatan setiap tahun meningkat. Namun, kami harus mengawasi semua sektor karena semuanya berpotensi terjadi korupsi,” kata Rahmadsyah.

Rahmadsyah mengatakan, keterlibatan publik mengawasi program pemerintah sangat membantu kejaksaan. Selama ini, kata Rahmadsyah ada beberapa kasus berawal dari laporan warga.

Artikel ini telah tayang di https://kompas.id/baca/nusantara/2018/11/22/sektor-kesehatan-di-aceh-rawan-korupsi/

[Siaran Pers] Antisipasi Kekosongan Obat, Ini Dorongan MaTA

MaTA – Perusahaan pemenang pengadaan obat-obatan untuk satu jenis obat harus lebih dari satu perusahaan, minimal dua atau tiga perusahaan. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir kekosongan obat yang selama ini kerap terjadi dibeberapa Fasilitas Kesehatan (Faskes). Demikianlah salah satu point yang berkembang dalam diskusi akuntabilitas yang diselenggarakan oleh Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) di hotel Oasis Banda Aceh, Kamis (08/11/2018).

Diskusi yang mengangkat tema “Perbaikan Tata Kelola Obat Era Jaminan Kesehatan Nasional di Aceh” dihadiri oleh stakeholder dari kalangan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Zainal Abidin, RSUD Meuraxa, Rumah Sakit Ibu dan Anak, Dinas Kesehatan Aceh, Dinas Kesehatan Banda Aceh, BPJS Kesehatan Banda Aceh. Selain itu, hadir juga dari Puskesmas Jeulingke, Puskesmas Meuraxa, Puskesmas Banda Raya dan juga Ombudsman RI Perwakilan Aceh.

Dalam pembukaannya MaTA menyampaikan, kegiatan hari ini merupakan rangkaian dari beberapa kegiatan yang dilakukan oleh MaTA untuk mendorong perbaikan tata kelola obat di Banda Aceh. Selama ini, beberapa faskes yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan mengalami kekosongan obat yang mengakibatkan pelayanan kesehatan untuk pasien peserta BPJS Kesehatan kurang optimal. Sehingga MaTA mengambil inisiatif untuk ikut ambil bagian mendorong perbaikannya.

Menurut MaTA, salah satu penyebab kekosongan obat di faskes yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan adalah tidak sanggupnya penyedia atau perusahaan yang telah memenangi pengadaan obat untuk memenuhi permintaan obat-obatan dari faskes. Selama ini, faskes membeli obat melalui e-katalog dengan sistem e-purchasing pada perusahaan pemenang, tapi terkadang perusahaan ini tidak sanggup menyediakan permintaan dari faskes-faskes.

Menanggapi hal ini, Kabid SDK Dinas Kesehatan Aceh, dr. Abdul Fattah menyampaikan, idealnya perusahaan pemenang pengadaan obat-obatan itu lebih dari satu, minimal dua atau tiga perusahaan. Sehingga jika perusahaan pemenang yang satu tidak sanggup memenuhi permintaan dari faskes, faskes bisa membeli pada perusahaan pemenang lain. Kalau hal ini dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian Kesehatan, kekosongan obat di beberapa faskes dapat diminimalisir.

Selain itu, menurut Staf Dinas Kesehatan Banda Aceh, Reza Faisal, Surat Edaran dari LKPP nomor 03 Tahun 2015 memboleh pengadaan dilakukan diluar e-purchasing dengan ketentuan salah satunya adalah penyedia tidak dapat menyediakan barang/jasa sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan. Tapi kemudian, penyedia baru menyatakan tidak sanggup menyediakan diakhir-akhir tahun berjalan, padahal faskes telah mengajukan pembelian pada Januari – Februari tahun berjalan.

Menanggapi hal tersebut, Koordinator MaTA, Alfian, menyampaikan, idealnya, ketidak-sanggupan penyedia harus diberitahukan maksimal pada pertengahan tahun berjalan. Sehingga faskes bisa mencari solusi lain membeli obat untuk kebutuhan-kebutuhan obat di faskes. MaTA sendiri akan konsisten mengawal perbaikan tata kelola obat di Aceh, sehingga pasien-pasien peserta BPJS Kesehatan di Aceh tidak lagi membeli obat-obat diluar instalasi farmasi faskes-faskes bekerjasama BPJS Kesehatan.

Diakhir kegiatan, MaTA juga menyerahkan hasil pemantauan tata kelola obat yang telah dilakukan kepada perwakilan BPJS Kesehatan, dr. Cut Novarita dan juga kepada perwakilan Ombudsman RI perwakilan Aceh, Syandi RS.

Banda Aceh, 08 November 2018

Badan Pekerja
Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA)

dto

BAIHAQI
Koordinator Bidang Hukum dan Politik

Kata MaTA Soal DPRA Gunakan Hak Interpelasi Terhadap Gubernur

Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menilai tidak ada yang salah dengan langkah DPRA menggunakan hak interpelasi terkait sejumlah kebijakan Gubernur Aceh. Namun, MaTA mengkhawatirkan, konflik antara eksekutif dan legislatif Aceh berimbas terhadap rakyat.

“Kita melihat apa yang dilakukan DPRA hari ini, yaitu menggalang tanda tangan untuk meminta jawaban gubernur, itu sah-sah saja,” ujar Hafidh, Koordinator Bidang Advokasi Anggaran dan Kebijakan Publik MaTA, menjawab dari via telepon seluler, Kamis, 10 Mei 2018.

Hafidh menyebutkan, konflik elite Aceh yaitu eksekutif dan legislatif itu sudah berlangsung sejak pembahasan anggaran beberapa waktu lalu. MaTA melihat, konflik ini berpotensi merugikan masarakat Aceh, terutama dalam pembangunan, pencapaian visi dan misi, serta arah kebijakan pembangunan Pemerintah Aceh.

“Jika ini terus berlarut antara eksekutif dan legislatif, maka apa yang ingin dicapai oleh Pemerintah Aceh baik yang sudah dimasukkan dalam perencanaan pembangunan jangka menengah, maupun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), sudah pasti akan terganggu prosesnya. Imbasnya tentu akan dialami masyarakat, termasuk pelayan publik juga pasti akan terganggu jika proses (konflik elite) ini terus berlangsung,” ungkap Hafidh.

Seperti pernah disampaikan MaTA beberapa waktu lalu, di awal pembahasan anggaran Aceh, alangkah bijaknya jika eksekutif dan legislatif mencari titik temu agar perselisihan tersebut tidak terus berlanjut. 比特幣賭博

“Bagaimana proses pembangunan ini bisa dilakukan jika keduanya terus berkonflik. Mungkin (mencari solusi) itu yang harus dilakukan Pemerintah Aceh. Harus ada titik temu antara pihak gubernur dan legislatif, sehingga konflik ini tidak merembet kepada upaya pembunuhan hak-hak masyarakat, termasuk soal pembangunan yang ingin dicapai Pemerintah Aceh,” pungkas Hafidh.